Mohon tunggu...
Khoiru Roja Insani
Khoiru Roja Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha produktif dalam keterbatasan

Pemuda asal Yogyakarta yang gemar ke sana-ke mari. Ajak saja pergi, pasti langsung tancap gas! Senang berdiskusi mengenai berbagai hal, senang bepergian, dan senang mengabadikan momen melalui kamera untuk diunggah di akun instagram. Ajak saja nongkrong atau bermain, pasti bisa mengenal lebih dekat lagi!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Self Reward ala Stoisisme

11 Maret 2021   08:24 Diperbarui: 11 Maret 2021   08:47 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Self Reward (sumber: pinterest.com/DeeDee Joehl)

Self reward atau memberi hadiah pada di sendiri sangat penting untuk dilakukan. Banyak sekali macam-macam self reward yang telah dijelasksan di berbagai tulisan di berbagai platform.

Self reward yang dimaksud seperti shopping, makan dalam skala banyak, olahraga, tidur dalam tempo yang lama, nge-date dengan pasangan, nongkrong bersama kawan, dll.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas memang benar adanya adalah bentuk dari self reward. Akan tetapi, bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan membahas tentang Stoisisme.

Stoisisme sendiri adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang mengajarkan definisi kebahagiaan sejati dan semua itu tumbuh serta berkembang dari dalam diri.

Stoisisme bisa juga disebut Stoa, dan orang-orang yang mempraktikan filsafat ini disebut praktisi Stoa. Tulisan ini merujuk pada buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring.

Stoa mengajarkan pada kita untuk membagi serta memahami hal-hal yang ada di dalam kendali kita dengan yang di luar kendali kita. Hal-hal yang ada di dalam kendali kita contohnya adalah pikiran, opini, perasaan, persepsi dan tindakan kita sendiri, sedangkan yang di luar kendali kita adalah keputusan orang lain, opini orang lain, tindakan orang lain, kesehatan, reputasi, dan kekayaan.

Stoisisme mengajarkan bahwa sesuatu hal hanya bisa menjadi benar-benar “baik” atau “buruk” jika hal-hal tersebut ada di bawah kendali kita. Sebab, interprestasi atas hal-hal menjadi “baik” atau “buruk” adalah kuasa kita. Kita yang memiliki andil untuk menafsirkan suatu hal menjadi “baik” atau “buruk.”

Begitu pula sebaliknya, Stoa memasukkan hal-hal di luar kendali kita sebagai “indiffirent” atau hal-hal yang tidak berpengaruh. Pendapat orang lain, tindakan orang lain, opini orang lain, harta benda, kekayaan, dan kesehatan dimasukkan ke dalam daftar hal-hal yang tidak berpengaruh oleh Stoa.

Entah kita kaya atau miskin, sakit atau sehat, entah anggota tubuh lengkap atau tidak, Stoa mengatakan bahwa kita semua sanggup merasa bahagia serta tenteram dan tetap dapat menjalani hidup dengan baik. Buat apa memiliki kekayaan yang melimpah, tubuh yang rupawan, suami/istri yang menawan, tetapi tidak dapat menjalani hidup dengan baik.

Salah satu cara yang diajarkan Stoisisme agar tidak dikendalikan oleh hal-hal yang di luar kendali, seperti harta benda, popularitas, kekayaan, dan kecantikan adalah dengan terus mengingatkan diri akan naluri dari benda-benda tersebut. Kita tidak dilarang untuk memiliki itu semua, tidak dilarang untuk menikmati itu semua.

Namun, kita harus bisa memahami esensi dari semua yang kita miliki. Semua kepemilikan itu hanyalah fana. Bisa hilang sewaktu-waktu karena tidak (sepenuhnya) ada di bawah kendali dan harus ditekankan bahwa kita bisa bahagia tanpa itu semua.

Hal-hal duniawi yang bersifat nyaman tentulah nagih. Seperti kekayaan, wajah yang rupawan, suami yang tampan dan istri yang cantik, harta benda, popularitas, dan jabatan tentu membuat semua orang nyaman ketika memiliki semua atau beberapa di antara yang telah disebutkan.

Namun, di sini Stoisisme menekankan bahwa nalar/rasio harus bisa melawan efek nagih dari hal-hal di atas. Kita harus bisa memahami bahwa segala kenikmatan dunia harus bisa dilihat sebatas benda, objek, dan kenikmatan yang tidak lebih dari apa adanya.

Stoisisme juga mengajarkan untuk mencintai pasangan, anak, orang tua, dan orang-orang yang kita cintai lainnya dalam batas wajar dan harus mengerti sifat alamiah manusia.

Orang-orang yang kita cintai adalah manusia, dan manusia bersifat fana/bisa mati. Kita harus memahami substansi ini, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Sehingga, ketika akhirnya kematian merenggut orang-orang yang kita kasihi, kita bisa menyikapi dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih.

Maka dari itu, di saat masih didampingi oleh orang-orang yang kita cintai, hargailah keberadaan mereka ketika mereka masih hidup. Jangan anggap remeh mereka, perlakukanlah sebaik mungkin yang kita bisa terhadap mereka. Jika tiba waktunya mereka meninggalkan kita, setidaknya kita telah lega, bisa dan pernah memperlakukan mereka sebaik-baiknya yang kita bisa.

Self reward yang dilakukan orang-orang pada benda (shopping) atau pada orang yang dicintai, pada kekayaan, atau lainnya yang muaranya pada hal-hal yang ada di luar kendali bukanlah menjadi suatu hal yang salah. Akan tetapi, harus dipahami bahwa semua itu adalah hal yang bersifat sementara, fana, dan bisa direnggut sewaktu-waktu. Bersiaplah kecewa saat terlalu terobsesi dengan hal-hal yang sewaktu-waktu bisa hilang dalam sekejap.

Oleh karena itu, Stoisisme mengajarkan untuk memberikan self reward dari dalam diri. Munculkan rasa bahagia setelah berhasil melakukan sesuatu, munculkan rasa senang saat bersama dengan kekasih, mengontrol emosi, dan mengendalikan hawa nafsu. Semua itu adalah hal-hal yang bisa kita kendalikan, kita bisa mengontrol itu semua.

Setelah membaca tulisan ini, diharapkan Anda dapat memahami bahwa kebahagiaan, emosi, amarah, iri, dan dengki datang dari dalam diri kita. Kitalah yang bisa mengontrol itu semua. “Baik” dan “buruk”nya sesuatu kita yang memiliki andil untuk menentukan itu semua. Kita harus fokus terhadap hal-hal yang ada di dalam kendali kita.

Lalu, terhadap hal-hal yang ada di luar kendali kita seperti, kekayaan, kesehatan, harta benda, pasangan hidup, popularitas, opini orang lain, tindakan orang lain, dan keputusan orang lain kita sikapi sewajarnya saja. Kita harus memahami bahwa semua itu sementara, bisa direnggut sewaktu-waktu.

Sebab, Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati adalah saat tidak ada amarah, emosi negatif, dan nafsu yang membelenggu dan menguasi diri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun