OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pendahuluan: 'Oleh-Oleh' yang Mengubah Narasi dan Menuntut Etika
Pengembalian 30.000 benda bersejarah---artefak, fosil, dan dokumen penting---dari Belanda adalah tonggak sejarah yang melampaui isu politik. Ini adalah aksi Repatriasi Budaya terbesar, sebuah restorasi kedaulatan narasi bangsa.
Momen ini memaksa kita untuk membuat perbandingan historis yang sangat tajam, yakni: Apakah ini semata-mata pengulangan Politik Etis kolonial, sebuah etika paternalistik demi kepentingan citra penjajah?
Jawabannya: Tidak. Repatriasi ini harus dimaknai sebagai tindakan Etis Sejati, didorong oleh Budi Pekerti dan pengakuan setara, yang sangat kontras dengan kebijakan Belanda di masa lalu.
Filosofi Jawa yang maknanya universal bisa menjadi salah satu sudut pandang kerangka etis untuk mengelola warisan ini, yang mengajarkan bahwa literasi dan penguasaan pengetahuan harus dilandasi kerendahan hati, tanggung jawab, dan introspeksi, membedakannya dari 'etika pura-pura' di masa kolonial.
I. Politik Etis Kolonial vs. Etika Repatriasi Sejati
Politik Etis yang diterapkan oleh Belanda pada awal abad ke-20 (dipicu oleh artikel C. Th. van Deventer, "Een Eereschuld") secara teoretis bertujuan untuk membalas "hutang kehormatan" melalui program Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi (Trias Van Deventer).
Namun, Politik Etis kala itu sarat dengan kontradiksi: edukasi hanya menyentuh elite pribumi, irigasi menguntungkan perkebunan Belanda, dan migrasi bertujuan mengurangi kepadatan Jawa---semua bersifat paternalistik dan berorientasi pada kepentingan colonial semata.
Kontras Etika Sejati (Repatriasi)
Pengembalian artefak saat ini adalah manifestasi dari Etika Sejati, atau dalam konteks lokal, Budi Pekerti Luhur.