Kasus pembunuhan satu keluarga di Pacitan, Jawa Timur, yang dilakukan oleh pelaku berinisial (W), bukan hanya sebuah tragedi kriminal, tetapi juga cerminan tragis runtuhnya nilai-nilai moral dan Petuah Jawa yang selama ini menjadi pondasi etika masyarakat Jawa.
Menggunakan lensa kearifan lokal yang sarat makna---yang terkandung dalam ajaran seperti Aja Dumeh, Ngundhuh Wohing Pakarti, dan Tepa Selira---kasus brutal ini dapat dianalisis sebagai antitesis mutlak terhadap prinsip hidup yang mestinya dipegang teguh.
1. Pelanggaran Utama: Aja Dumeh dan Gagalnya Pengendalian Diri
Inti dari etika Jawa adalah "Aja Dumeh" (jangan mentang-mentang, jangan sombong) dan kemampuan menguasai diri (eling lan waspada). Petuah ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bisa berubah, dan manusia tidak boleh merasa paling kuat atau paling benar.
Tragedi Pacitan menunjukkan kegagalan fatal (W) dalam prinsip ini.
- Hilangnya "Andhap Asor" (Kerendahan Hati): Penolakan untuk rujuk direspons dengan amarah destruktif, alih-alih menerima dan mencari kedewasaan diri. Kekerasan yang berujung pada pembantaian dan melukai anak-anak menunjukkan hilangnya keberanian sejati, sebab dalam petuah Jawa: orang yang paling berani adalah orang yang mampu menaklukkan diri sendiri.
- Melawan "Sang Kala" (Waktu): Pelaku lupa bahwa kekuasaan, kekuatan, atau keinginan tidak abadi. Dengan melarikan diri ke hutan dan menjadi buron, ia hanya mewariskan karma buruk bagi dirinya sendiri. Ia memilih jalan yang menciptakan penderitaan, padahal kearifan Jawa selalu mengingatkan: penderitaan terbesar bersumber dari diri sendiri, yaitu ketika seseorang gagal menguasai hati dan nafsunya.
2. Hukum Karma: Ngundhuh Wohing Pakarti
Petuah Jawa yang paling fundamental adalah "Ngundhuh Wohing Pakarti" (memanen buah dari perbuatan). Prinsip ini menekankan bahwa setiap tindakan, baik atau buruk, pasti akan berbalik kepada pelakunya.
Tindakan brutal (W) adalah upaya melampiaskan amarah yang melanggar nilai kemanusiaan, termasuk nilai "Bale Somah" (rumah tangga).
- Merusak Tatanan Keluarga: Ajaran Jawa sangat menjunjung tinggi kesatuan keluarga. Konflik rumah tangga mestinya tidak diselesaikan dengan kekerasan yang mengubah tempat bernaung menjadi medan perang. Kekerasan ini adalah pengkhianatan terhadap nilai komitmen dan rasa hormat yang mendasari ikatan kekeluargaan.
- Menciptakan Karma Buruk: Kini, (W) tidak hanya menjadi buron, tetapi juga telah menciptakan karma yang harus ia tanggung: isolasi di hutan, ketakutan, dan penangkapan. Kejahatan yang dilakukannya akan "diwarisi" oleh dirinya sendiri, seperti yang diajarkan petuah tentang hukum sebab akibat.
3. Penegakan Nilai Sosial: Solidaritas dan Tepa Selira Komunitas
Meskipun pelaku mengkhianati kearifan lokal, respons komunitas justru mencerminkan implementasi nilai-nilai luhur Jawa, terutama Tepa Selira (tenggang rasa/empati).
- Tenggang Rasa Warga: Keputusan meliburkan enam sekolah dasar dan keresahan kolektif warga menunjukkan adanya solidaritas sosial dan tenggang rasa terhadap keselamatan anak-anak. Komunitas bertindak berdasarkan naluri perlindungan, menjauhkan diri dari ancaman agar tidak diperlakukan jahat. Tindakan ini adalah praktik nyata dari: "Jika tidak suka diperlakukan jahat, janganlah berbuat jahat."
- Upaya Menegakkan Kebenaran: Pengerahan aparat gabungan (TNI-Polri) dan anjing pelacak K9 adalah upaya kolektif untuk mengembalikan kedamaian dan menegakkan keadilan. Ini sejalan dengan keyakinan yang dianut dalam petuah Jawa bahwa kebatilan (kekerasan) pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebenaran (hukum). Aparat bertindak sebagai instrumen untuk memastikan (W) memanen buah dari perbuatannya.
Kesimpulan