OLEH: Khoeri Abdul Muid
Warung kopi di bekas gudang KUD itu mendadak ramai. Roda gerobak tua yang selama ini hanya jadi sarang laba-laba, kini dipenuhi tumpukan gelas plastik dan bungkus rokok.
Sejak semifinal AFF dimulai, halaman yang tadinya sepi itu berubah jadi "stadion" dadakan. Saya, sebagai warga baru, cuma bisa memperhatikan dari teras rumah mertua yang berjarak seratus meter. Saya baru tahu, ternyata warga di sini sangat menggilai sepak bola.
Malam itu, Indonesia melawan Vietnam. Layar televisi 21 inci di salah satu warung cangkruk memancarkan cahaya redup yang jadi pusat perhatian. Pak Joni, pemilik warung, tak henti-hentinya tersenyum sambil melayani pembeli. Ia tak peduli siapa yang menang atau kalah, yang penting dagangannya laku. Keuntungan dari satu malam nobar bisa menutupi biaya operasionalnya seminggu penuh.
"Gooolll!"
Teriakan itu membuat saya tersentak. Euforia meledak. Seorang pemuda bertopi terbalik melompat-lompat, menendang udara seolah dia sang pencetak gol. Sekelompok bapak-bapak bersorak, saling merangkul, dan mengacungkan kepalan tangan ke langit. Saya melihat pemandangan itu dari jauh. Mereka semua terlihat bahagia. Setelah kekecewaan pahit melawan Thailand, kemenangan ini seperti obat penawar yang mujarab.
Tapi, ada sesuatu yang aneh. Euforia ini terasa seperti gelembung sabun. Indah, tapi mudah pecah.
Saat peluit panjang ditiupkan, euforia itu tidak lantas surut. Beberapa pemuda masih berteriak-teriak, merayakan kemenangan. Namun, di sudut lain, saya melihat dua orang berdebat. Seorang bapak-bapak mengomel karena gelas kopinya tidak sengaja tumpah. Padahal, sebelumnya mereka berdua terlihat saling merangkul erat.
"Dasar buta, mata ditaruh di mana?!" hardik salah satu dari mereka.
"Santai, Pak. Kan cuma tumpah," balas yang lain.
Suasana langsung menegang. Suara nyaring dari televisi sudah tak ada lagi, digantikan oleh cekcok yang memancing perhatian. Pak Joni, dengan senyum bisnisnya yang mulai pudar, segera melerai. Ia tahu, jika keributan ini membesar, itu akan merugikan bisnisnya.