OLEH; Khoeri Abdul Muid
Sorot lampu menyilaukan, beradu dengan klik-klik kamera yang haus rekaman. Ruang konferensi pers di lantai dasar Balairung Garuda Sembada pengap; aroma kopi basi, keringat, dan ketegangan menempel di udara.
Di balik mikrofon, Generaal Majoor Cokro Wibowo Hadikusumo duduk tegak. Seragam putihnya berkilat, tapi di balik kain itu dadanya bergetar seperti genderang perang yang dipukul terlalu keras. Di sampingnya, Opperluitenant Budi Irawan Setiawan menatap kosong, wajahnya seperti topeng lilin---rapuh tapi dipaksa beku.
"Selamat siang, rekan-rekan media," suara Cokro terdengar datar, menahan retak. "Kami hadir untuk meluruskan kabar soal surat yang beredar. Ya, surat undangan rapat panitia pernikahan putri Sri Generaal Sugih Susudaryanto Ningrat, Kepala Balai Kesiapsiagaan Kerajaan."
Bisik-bisik wartawan berdesis seperti ular yang baru terbangun. Kilatan kamera menyalak, menyorot wajah pejabat yang tak lagi bisa bersembunyi.
"Surat itu bukan kabar angin," lanjut Cokro, nadanya meninggi setengah nada. "Itu dokumen resmi. Ditujukan pada panitia internal balai, juga sahabat beliau dari pasukan diraja dan para hansip. Rapat ini untuk mengonsolidasikan kerja wedding organizer. Tak lebih."
Ia menarik napas panjang. Sekilas, bayangan rakyat jelata melintas di benaknya: rumah hanyut, sawah tenggelam, anak-anak meringkuk di tenda darurat. Semuanya menatapnya dari balik lumpur---lalu lenyap, ditelan kilatan lampu.
Seorang wartawan berteriak, suaranya tajam:
"Generaal Majoor, bukankah ini melanggar peraturan perundang-undangan dan etika tata krama kerajaan? Menggunakan fasilitas balai kerajaan untuk urusan pribadi?"
Pertanyaan itu menancap seperti tombak. Cokro menelan ludah. Matanya sempat berkedip ke arah pintu, seolah mencari jalan keluar.
"Kami tidak memakai perbendaharaan kerajaan," ujarnya akhirnya, suara lirih tapi dipaksa tegar. "Semua panitia bekerja sukarela, tanpa insentif. Jika ada yang merasa dirugikan, kami berterima kasih atas koreksinya."