"Jadi, apa motto hidupmu?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menggantung seperti pertanyaan yang tak akan pernah terjawab. Dina duduk terpaku di bangku belakang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Di sekelilingnya, para siswa baru lainnya tertawa, berbicara lantang, dengan percaya diri menuliskan motto hidup mereka di name tag masing-masing. Ada yang menuliskan kalimat lucu seperti, "Setelah MPLS terbitlah PR yang banyak," atau "Bangun pagi demi sarapan gratis." Sementara yang lain memilih kata-kata bijak penuh makna, seperti "Hidup sekali, jadikan berarti."
Namun, Dina? Dia tidak menulis apa pun. Name tag di tangannya masih kosong, seperti pikirannya. Apa yang seharusnya ia tulis? Di mana ia bisa menemukan kata-kata yang tepat?
"Hey, kamu belum menulis motto hidupmu?" tanya Kak Adit, salah satu kakak OSIS, dengan senyum jahil di wajahnya. Dina hanya bisa menggeleng, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang makin mencekam.
"Sekolah ini penuh tantangan, Dina. Kamu butuh motto yang kuat untuk bertahan. Jangan terlalu lama mikir, nanti disalip teman-teman yang lain!" ujar Kak Adit sambil tertawa. Siswa lain ikut tertawa---tidak mengejek, tapi tetap saja itu membuat Dina semakin tertekan.
Dia mulai merasa bahwa semua orang memperhatikannya, menunggu dengan penuh harap untuk mendengar kalimat luar biasa yang akan keluar dari mulutnya. Tapi, Dina? Dina masih terjebak dalam diamnya.
Apa motto hidupku? pikirnya berulang kali.
Temannya, Rina, menepuk bahunya, "Santai aja, Din. Aku cuma nulis 'Pelajar cerdas, prestasi melesat.' Gampang, kan?"
Tapi bagi Dina, tidak sesederhana itu. Ini bukan hanya tentang menuliskan sembarang kata. Bagi dia, ini adalah tentang menemukan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang bisa menggambarkan dirinya, yang bisa menjadikannya pusat perhatian, tetapi dalam cara yang baik. Dan lebih dari segalanya---sesuatu yang bisa membawanya ke tempat yang lebih baik di sekolah ini. Tapi apa?
Waktu terus berjalan. Satu per satu siswa dipanggil ke depan untuk memperkenalkan diri dan membaca motto hidup mereka. Setiap kali seseorang selesai, sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi ruangan, menciptakan tekanan yang lebih besar di dada Dina.