Menulis seringkali dipahami sebagai cara untuk menuangkan gagasan, melatih logika, sekaligus memperkaya pemahaman dan pengetahuan. Pada awalnya, aktivitas ini memang membantu penulis menyerap berbagai informasi baru, lalu mengolahnya menjadi pengetahuan yang lebih matang yang telah melewati penggodokan pribadi. Dengan membaca, merenung, dan menulis, seseorang dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih bijak.
Namun, ada sisi lain yang jarang disadari. Bagi sebagian orang, menulis justru bisa menjadi perangkap. Kalimat demi kalimat yang terus bermunculan di kepala dapat menjebak penulis dalam ruang pikirannya yang terus bergerak dan tak terhenti. Alih-alih terbuka pada wawasan baru lainnya, hingga terus saja seseorang berputar-putar pada berbagai teori yang sama, hingga menjadikan sosok kehilangan pijakan dalam kehidupan nyatanya. Ia terselenggara oleh rasa dan hayalnya sendiri.Â
Di sinilah tantangannya: apakah menulis membuat kita semakin memahami teori? Ataukah dapat mengenal diri, atau justru membatasi diri dalam dunia kata-kata yang terus pikiran ciptakan?
Saya meyakini, membaca dan menulis seharusnya tidak berhenti pada gerakan pena dan sebatas jemari. Ia adalah proses menyeluruh, melibatkan seluruh indra dan kesadaran. Ketika menulis menjadi alasan untuk mengabaikan tugas dan tanggung jawab sekitar, maka di situlah letak kelalaian penulis yang sepertinya memahami berbagai hal
Menulis memang menyenangkan, tetapi sejatinya ia hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana tulisan membawa kita lebih dekat pada realitas, bukan sekadar teori dan hayal pribadi
Bagaimana menurut Anda? Apakah menulis benar-benar membuat kita lebih bijak, atau hanya menjerat kita dalam teori yang kita ciptakan sendiri?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI