Mohon tunggu...
Kharis Matul Aziziah
Kharis Matul Aziziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jember

La Tahzan Innallaha Ma'ana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Tata Negara Darurat Perspektif Jimly Ashiddiqie Dikaitkan dengan Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Covid-19

17 Oktober 2021   16:35 Diperbarui: 17 Oktober 2021   16:37 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terkadang negara terbentur dengan situasi yang membahayakan atau darurat. Layaknya seseorang jika dihadapkan dengan situasi bahaya, begitu juga dengan negara, negara akan memakai haknya untuk membela diri, yaitu dengan cara menetapkan Hukum Tata Negara Darurat (staatsnoodrecht). Dengan demikian, dalam praktik ketatanegaraan menurut Jimly Asshidiqqie dikenal dua keadaan negara, yaitu negara dalam keadaan normal (ordinay condtion) dan negara dalam keadaan keadaan darurat (state of emergency). Namun dalam pembahasan ini kita akan membahas negara dalam keadaan darurat.

Klausul  konstitusional  mengenai HTN  Darurat  tercantum di  Pasal  12  UUD  1945.  Pasal ini dianggap sebagai bentuk pengecualian konstitusional dalam kondisi keadaan  bahaya atau state of emergency. Pasal 12 UUD  1945 menyatakan "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang."  Klausul  ini  memberikan  kewenangan  bagi  Presiden  untuk menetapkan keadaan bahaya atau state of emergency sebagai kepala negara. Sehingga memberikan kekuasaan bagi Presiden Indonesia untuk melakukan penyimpangan hukum dalam kondisi kedaruratan secara konstitusional.

Praktik hukum tata negara dalam kondisi darurat tersebut dikenal sebagai Hukum Tata Negara Darurat (HTN Darurat).   Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai istilah Hukum Tata Negara Darurat  sebagai  keadaan  bahaya  yang  tiba-tiba  mengancam  ketertiban  umum,  yang  menuntut  negara  untuk  bertindak  dengan  cara- cara  yang  tidak  lazim  menurut  aturan  hukum  yang  biasa  berlaku  dalam  keadaan normal. Di   Indonesia, terkait kondisi darurat bisa dilihat di beberapa Konstitusi yang pernah   berlaku, seperti dalam  Konstitusi  RIS  1949 dan  UUDS  1950.  

Dalam  Undang-Undang Dasar 1945 pengaturan keadaan darurat diatur  dalam  dua  pasal  yakni  dalam  Pasal 12 UUD 1945 dan Pasal 22  UUD 1945. Dari dua ketentuan  pasal  tersebut  perlu kita ketahui terdapat dua terminologi yang dipakai untuk mengartikan suatu kondisi atau keadaan darurat, yakni dalam pasal 12 UUD 1945 mengartikan dalam "keadaan  bahaya"  dan dalam pasal 22 UUD 1945 mengartikan dalam "hal ihwal kegentingan yang memaksa".

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie istilah hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam Pasal  22 UUD 1945 memiliki  cakupan arti yang luas,  tidak  selalu sama  dengan  keadaan bahaya  (Dalam Pasal  12  UUD  1945).  

Hal ini diartikan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan keadaan bahaya. 

Gabungan dari kata "kegentingan yang memaksa" merupakan domain subjektifitas Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi keadaan objektif ketika Perppu oleh DPR  disetujui  dan  menjadi  Undang-Undang. Maka dari itu, menurut pendapat  Jimly  Asshiddiqie setidaknya terdapat dua model Perppu yaitu

1.         Perpu yang dibentuk dalam keadaan mendesak  tetapi  dalam  keadaan  normal

2.         Perppu yang dibentuk memang ketika negara sudah secara resmi memberlakukan keadaan darurat.

Pembentuk UU tidak bisa memprediksi suatu undang- undang  yang  sedang  dibentuk  akan  dapat menyelesaikan  masalah  di  kemudian  hari. Begitu juga datangnya suatu kondisi yang mengancam kehidupan bernegara, niscaya  tidak  dapat prediksi  kapan  datang dan berakhirnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, biasanya negara menyiapkan berbagai instrumen hukum yang memang disiapkan untuk menghadapi hal tersebut. Pengaturan tersebut dibuat baik dalam konstitusinya maupun dalam undang-undang biasa

Seperti halnya di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan PPKM hingga Level 4 untuk mengatasi penyebaran Covid-19 dan untuk meminimalisir penularan Covid-19. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat Indonesia bisa mematuhi dan menaati kebijakan pemerintah serta menerapkan protokol kesehatan. Tom Ginsburg dan Mila Versteeg,  berpendapat bahwa secara  umum  ada  tiga  cara yang  dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam menangani krisis Covid-19 yaitu dengan cara

  • Deklarasi keadaan darurat di bawah konstitusi
  • Penggunaan undang-undang darurat baru yang ada yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat atau bencana nasional
  • Pengesahan undang-undang darurat baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun