Demonstrasi besar di Nepal yang dipicu oleh larangan pemerintah terhadap sejumlah platform media sosial berkembang menjadi gelombang protes yang melibatkan ribuan orang. Larangan media sosial tersebut bukan hanya soal akses digital, tapi simbol pembatasan ruang kebebasan dan kegagalan negara dalam mendengar suara rakyat. Protes ini melahirkan permintaan hak untuk berbicara, didengar, dan hidup dengan adil, namun direspons dengan kekerasan seperti gas air mata, peluru karet, dan senjata api yang menewaskan belasan orang.
Akar masalah bukan hanya larangan media sosial, melainkan juga ketidakadilan yang meluas, korupsi, dan nepotisme. Negara menutup ruang dialog formal sehingga rakyat menggunakan demonstrasi sebagai bahasa komunikasi alternatif. Namun, negara merespon dengan represi sehingga demokrasi yang seharusnya menjadi ruang dialog berubah menjadi kekerasan dan kehilangan legitimasi politik. Keputusan mencabut larangan media sosial terlambat dan trauma masyarakat tetap ada. Dalam hal ini seharusnya Negara mempunyai keberanian untuk mendengarkan aspirasi rakyat agar demokrasi bisa berjalan baik. Negara harus membangun mekanisme dialog dan transparansi agar kepercayaan publik terjaga. Demokrasi bukan sekadar pemilu rutin, tapi budaya komunikasi dan penghormatan atas hak-hak sipil. Nepal menjadi peringatan keras bahwa tanpa komunikasi terbuka, demokrasi bisa berubah menjadi luka dan tragedi berdarah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI