Hari ini, hati saya campur aduk. Bukan karena hal besar yang mengejutkan dunia, tapi karena satu hal sederhana yang menggetarkan jiwa: hari pertama Aldrin masuk SMP.
Akhirnya, setelah berbagai pertimbangan, diskusi, harapan, dan tarik ulur perasaan, Aldrin melanjutkan ke SMP Al Azhar Syifa Budi Jatibening (ASBJ) --- sekolah yang sama dengan tempatnya menghabiskan masa SD. Pilihan ini terasa hangat, seperti kembali ke pelukan yang sudah dikenal. Tapi di balik ketenangan itu, ada cerita kecil yang penuh gejolak batin dari seorang ayah generasi milenial.
Tentang Keputusan dan "Miskomunikasi"
Sebenarnya, waktu SPMB kemarin, Aldrin diterima di dua SMP negeri: SMP 252 dan SMP 27. Sebuah capaian yang membanggakan. Tapi karena ada miskomunikasi --- saya menyebutnya begitu untuk memperhalus --- akhirnya Aldrin terdaftar di SMP 27. Sekolah yang baik, hanya saja jaraknya cukup jauh dari rumah. (dan prosesnya akan selalu menjadi noda dalam hidup saya.)
Jauh dari jangkauan hati saya sebagai ayah yang (mungkin sedikit berlebihan) ingin anaknya tetap dalam jangkauan mata dan dekapan nyaman rumah.
Saya tahu, mungkin ini tidak ideal. Tapi saya tumbuh dalam keadaan yang berbeda. Saya tahu rasanya sekolah jauh, naik kendaraan umum yang berdesakan, menahan lapar, menyembunyikan keringat dan kadang air mata. Dan saya tak ingin Aldrin merasakannya. Mungkin ini bukan keputusan paling rasional, tapi ini keputusan yang datang dari hati seorang ayah.
"Dan orang tua tidaklah menzalimi anak-anaknya, melainkan selalu menginginkan yang terbaik untuk mereka."
(Q.S. Al-Kahfi: 46 -- makna mendalam dari ayat ini senantiasa saya pegang)
Tentang Pesantren dan Keterbatasan
Awalnya, saya ingin Aldrin masuk pesantren dekat rumah --- pesantren milik Mbah-nya. Tempat itu sudah cukup terbukti menghasilkan santri-santri yang masuk perguruan tinggi negeri, dengan prestasi membanggakan. Secara logika dan ekonomi, itu adalah pilihan paling realistis.
Tapi... entahlah. Hati ini tetap condong ke ASBJ --- ke tempat yang Aldrin inginkan sejak awal. Saat ini keadaan ekonomi sedang kurang baik. Tapi sebagai laki-laki, sebagai kepala keluarga, saya merasa harus punya solusi. Maka saya arahkan ke pesantren. Bukan karena saya tidak sayang, justru karena saya terlalu sayang, dan ingin tetap bisa menggenggam tangannya setiap hari.
Lalu, di titik inilah Allah menunjukkan kuasa-Nya.