Hal ini sungguh luar biasa karena di tengah orang berebut dan tidak memiliki waktu untuk mengendapkan persoalan, Budiman justeru menuangkan pemikirannya dalam kanvas besar sehingga politik tidak
hanya dipandang pragmatis dalam jangka pendek tetapi politik menjadi ruang kosmos, berseni dan bermanfaat bagi bangsa.
Orang-orang seperti ini kian langka. Apalagi di tengah polarisasi kaum intelektual dan terjadi perpecahan di dunia kampus. Karena semuanya akan mengarah pada politisasi dengan pandangan politik yang berbeda.
Ini menyebabkan pemikiran besar akan jarang lahir di zaman seperti sekarang ini. Â Pemikiran yang di cetuskan oleh Budiman menunjukkan bahwa masih ada celah untuk mengendapkan persoalan bangsa agar kita dapat melangkah lebih maju dari masa sebelumnya.
Lantas apa yang menginspirasi Budiman dengan semua pemikirannya? Dalam wawancara dengan Ahmad Sahal, Budiman mengungkapkan bahwa algoritma Soekarno itu memberinya inspirasi tentang pola pikir dari proklamator bangsa itu. Dia mengambil api dari pola pikir itu, bukan abunya.
Dengan demikian dinamika perjalanan bangsa dipandangnya sebagai suatu in state of becoming (proses menjadi) bukan in a state of being (dalam keadaan sudah jadi).
Jika kita menyitir filsuf Heraclitus maka akan disadari bahwa hanya perubahan yang abadi. Jika dikaitkan dengan nyala api dari Bung Karno dia bersifat dinamis dan terus berkelanjutan sampai kapanpun. Sebuah pemikiran adalah bagian dari in state of being. Tapi pola pikir adalah in state of becoming.
Budiman dengan berbagai usahanya mencoba untuk melanjutkan itu. Dia menapaki perjalanan sebuah bangsa, bercermin lalu merefleksikan diri dari suasana geopolitik atas dasar jejak-jejak sejarah yang diperolehnya.
Ruang dan waktu kadang tak bersahabat. Kadang dia harus berpikir di tengah badai.
Penulis: Khaidir Asmuni (Democracy Care Institute)