Mohon tunggu...
Kezia Artanauli Purba
Kezia Artanauli Purba Mohon Tunggu... Teacher

I am a biology teacher who truly enjoys my profession. I take great pleasure in keeping myself updated with ongoing developments and the evolving teaching methods, while ensuring that every approach remains aligned with established educational values and norms

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merawat Harmoni: Menemukan Keseimbangan Spiritual, Sosial dan Ekologis dalam Kehidupan Komunitas

22 September 2025   10:35 Diperbarui: 22 September 2025   10:35 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan 

Pernahkah kita bertanya mengapa beberapa komunitas tampak hidup lebih tenteram, bahagia, dan selaras dengan lingkungannya, sementara yang lain justru diliputi konflik dan kerusakan alam? Jawabannya sering kali terletak pada nilai-nilai yang mereka anut. Di sebuah desa adat di Bali, misalnya, masyarakat hidup dalam aturan Tri Hita Karana---sebuah filosofi yang menekankan harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Filosofi sederhana itu tidak hanya menuntun kehidupan spiritual, tetapi juga menjaga hubungan sosial dan keseimbangan ekologis.

Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual, sosial, dan ekologis bukan sekadar warisan budaya atau tradisi, melainkan fondasi bagi keharmonisan hidup bersama. Di tengah dunia modern yang kerap menekankan aspek material, pembahasan tentang nilai-nilai ini menjadi semakin relevan. Bagaimana sebuah komunitas dapat menghidupi nilai-nilai tersebut untuk menciptakan kebahagiaan bersama? Artikel ini mencoba membedahnya dengan bahasa yang ringan, agar kita dapat belajar dari praktik-praktik nyata yang sudah ada di sekitar kita.

Latar Belakang Masalah 

Masyarakat modern kini menghadapi tantangan besar: meningkatnya individualisme, krisis lingkungan, serta melemahnya ikatan sosial. Data dari World Happiness Report 2024 menunjukkan bahwa meskipun ekonomi dunia terus tumbuh, indeks kebahagiaan global justru stagnan. Banyak negara dengan PDB tinggi mengalami kesenjangan sosial dan krisis kesehatan mental. Di sisi lain, kerusakan ekologis seperti deforestasi, polusi udara, dan perubahan iklim semakin nyata dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat paradoks serupa. Pertumbuhan ekonomi memang berlangsung pesat, namun konflik sosial, intoleransi, hingga degradasi lingkungan terus menghantui. Padahal, bangsa ini sebenarnya memiliki kekayaan nilai lokal yang sangat berharga, mulai dari filosofi gotong royong, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di Minangkabau, hingga Tri Hita Karana di Bali. Semua nilai itu mengandung pelajaran tentang keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis.

Sayangnya, nilai-nilai tersebut sering dianggap sekadar ritual atau slogan, bukan praktik nyata yang dihidupi. Inilah mengapa penting bagi kita untuk kembali menganalisis dan menghidupkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan ekologis dalam komunitas. Tidak hanya demi menjaga identitas budaya, tetapi juga sebagai solusi nyata untuk membangun masyarakat yang harmonis, bahagia, dan berkelanjutan.

Pembahasan 

1. Nilai Spiritual: Fondasi Kehidupan Bermakna

Spiritualitas bukan hanya soal agama, tetapi lebih luas: bagaimana manusia memaknai hidup, menumbuhkan kesadaran, dan menghadirkan rasa syukur. Komunitas yang menekankan nilai spiritual biasanya lebih tangguh menghadapi krisis. Misalnya, masyarakat Dayak di Kalimantan memandang hutan sebagai "ibu" yang memberi kehidupan. Bagi mereka, menebang pohon tanpa izin adat sama saja dengan melukai ibu sendiri. Nilai spiritual ini menjadi benteng ekologis sekaligus membentuk solidaritas sosial.

2. Nilai Sosial: Jalinan Kehidupan Bersama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun