Mohon tunggu...
C S Farrell
C S Farrell Mohon Tunggu... Pelajar

Merupakan pekerja keras, rajin dan teliti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencari Akal Sehat di Tengah Negeri yang Penuh Sandiwara

14 Oktober 2025   17:01 Diperbarui: 14 Oktober 2025   17:01 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.biem.co/read/2018/12/17/31515/ferdiyan-ananta-merawat-indonesia-dengan-akal-sehat/

Dalam kehidupan berbangsa, kadang kita terjebak pada hal-hal sepele yang menimbulkan kepanikan massal, sementara persoalan besar justru diabaikan. Fenomena ini bukan hal baru. Ia mencerminkan kondisi sosial dan politik bangsa yang kerap kehilangan arah nalar dan moral. Tiga artikel dari F. Rahardi, Tempo, dan Budiman Tanuredjo sesungguhnya berbicara dalam satu nada yang sama: negeri ini sedang dilanda krisis kepercayaan, keteladanan, dan akal sehat.

Artikel pertama, "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi, tampak sederhana di permukaan, namun menyimpan makna mendalam. Penulis berangkat dari fenomena biologis, yaitu serangan ulat bulu yang sempat menimbulkan ketakutan luas di masyarakat. Namun, Rahardi tidak berhenti pada isu lingkungan. Ia mengubah fenomena itu menjadi metafora sosial-politik. Menurutnya, ketakutan yang berlebihan hanya akan memperburuk keadaan, bukan menyelesaikan masalah. Kalimatnya yang terkenal, "Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita," menjadi sindiran tajam terhadap masyarakat dan pemerintah yang sering kali bertindak berdasarkan emosi, bukan rasionalitas. Ulat bulu dalam artikelnya bukan sekadar hama, melainkan simbol ketakutan kolektif bangsa yang mudah dimanipulasi oleh elite politik. Melalui gaya bahasa satir dan deskriptif, Rahardi mengajak pembaca untuk berpikir lebih jernih, melihat masalah dengan pemahaman ilmiah, bukan dengan kepanikan yang tidak berdasar.

Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita

Sementara itu, artikel kedua, "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" dari Tempo, menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Editorial ini menulis dengan tegas bahwa kasus pagar laut di pesisir utara Tangerang seharusnya "tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele." Fakta bahwa pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer dapat berdiri tanpa izin menunjukkan adanya kelalaian dan lemahnya koordinasi antar lembaga negara. Tempo menyampaikan kritiknya dengan gaya lugas dan argumentatif, berpijak pada data konkret dan pernyataan pejabat terkait. Melalui tulisan ini, publik disadarkan bahwa hukum di negeri ini sering berjalan tidak adil, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Editorial tersebut menjadi seruan agar pemerintah dan aparat hukum menegakkan keadilan secara sungguh-sungguh, bukan hanya menampilkan sandiwara politik demi menjaga citra.

tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele

Selanjutnya, Budiman Tanuredjo dalam artikelnya "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" membawa pembaca pada refleksi moral yang lebih dalam. Ia menyoroti hilangnya nilai-nilai etika publik di kalangan pemimpin bangsa. Menurut Budiman, sumpah jabatan kini hanya menjadi seremonial tanpa makna. Ia membandingkan lafal sumpah anggota DPR tahun 2019 dengan perilaku politik tahun 2024 yang justru bertentangan dengan semangat reformasi. Penulis mengingatkan bahwa sumpah bukan sekadar ucapan formal, tetapi janji moral yang seharusnya dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dengan memadukan sejarah, norma hukum, dan realitas politik, Budiman menegaskan bahwa bangsa ini sedang kehilangan teladan moral seperti Hatta, Gus Dur, atau Buya Syafii Maarif, tokoh-tokoh yang dulu menjadi suara nurani rakyat.

Penulis mengingatkan bahwa sumpah bukan sekadar ucapan formal, tetapi janji moral yang seharusnya dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Bila ketiga artikel ini dibaca secara bersamaan, tampak jelas bahwa Indonesia sedang menghadapi persoalan yang lebih besar dari sekadar kasus ulat bulu, pagar laut, atau sumpah jabatan. Ketiganya menggambarkan wajah bangsa yang rapuh secara moral dan mental. Rakyat mudah panik terhadap hal sepele, hukum mudah dipermainkan oleh kepentingan, dan pejabat mudah melupakan janji yang telah diucapkan. Semuanya berpangkal pada satu hal: hilangnya akal sehat dalam berpikir dan bertindak.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri, mengapa bangsa sebesar ini mudah terseret dalam kepanikan dan sandiwara politik? Jawabannya sederhana: karena kita lebih suka menonton drama daripada memperbaiki realitas. Ketika media sosial ramai membahas hal-hal remeh, kasus korupsi dan pelanggaran hukum justru lenyap dari perhatian. Kita menjadi bangsa yang takut pada "ulat bulu", tetapi cabai terhadap hama yang sesungguhnya yaitu keserakahan, kebohongan, dan ketidakadilan.

Tiga penulis ini, dengan gaya masing-masing, seolah mengingatkan kita untuk kembali kepada kesadaran moral. Rahardi mengajak berpikir rasional, Tempo menuntut keadilan, dan Budiman menyerukan kebangkitan etika publik. Jika tiga suara ini kita dengar bersama, ada pesan kuat yang harus disadari: bangsa ini hanya bisa bangkit bila rakyat dan pemimpinnya mau berani jujur, berpikir waras, dan memegang teguh tanggung jawab moral. Karena pada akhirnya, seperti metamorfosis ulat bulu yang menjadi kupu-kupu, bangsa ini pun bisa berubah, asal mau belajar, berani menghadapi kebenaran, dan tidak lagi hidup dalam sandiwara yang diciptakannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun