Mohon tunggu...
Kettyindah Bungasasciya
Kettyindah Bungasasciya Mohon Tunggu... mahasiswa hukum

baca buku dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Maraknya TPKS di Indonesia

15 Oktober 2025   10:05 Diperbarui: 15 Oktober 2025   10:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) kini menjadi salah satu isu paling mengkhawatirkan dalam kehidupan sosial Indonesia. Data Komnas Perempuan (2024) mencatat terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023, dan sekitar 60% di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, sekaligus menandakan bahwa kekerasan seksual bukan lagi kasus individu, melainkan masalah sistemik yang berakar pada ketimpangan sosial, relasi kuasa, dan lemahnya penegakan hukum.
 
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat memperlihatkan kompleksitas persoalan ini. Salah satu kasus yang paling mencoreng dunia pendidikan adalah kasus Herry Wirawan, pendiri pesantren di Bandung, yang memperkosa belasan santriwati di bawah asuhannya sejak 2016 hingga 2021. Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 698 K/Pid.Sus/2022 menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku karena terbukti melakukan kekerasan seksual sistematis terhadap anak di bawah umur. Kasus ini menjadi simbol betapa kekuasaan dan kedok moral dapat digunakan untuk menindas korban (Mahkamah Agung RI, 2022).
 
Selain itu, kasus di Universitas Riau pada tahun 2024, di mana seorang dosen melakukan pelecehan terhadap mahasiswinya sendiri, menunjukkan bahwa relasi kuasa di dunia akademik masih menjadi akar utama terjadinya kekerasan seksual. Dalam penelitian Pratiwi dan Nugraha (2022), disebutkan bahwa "kekerasan seksual di perguruan tinggi kerap terjadi karena posisi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa, serta budaya diam yang masih kuat dalam lingkungan kampus."
 
Dampak TPKS tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga traumatis secara psikologis dan sosial. Korban umumnya mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), kehilangan rasa aman, dan sulit mempercayai lingkungan sosialnya. Puspitasari (2021) menjelaskan bahwa "korban kekerasan seksual seringkali mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan keinginan bunuh diri akibat trauma yang tidak tertangani." Selain itu, masyarakat yang belum berpihak pada korban sering melakukan reviktimisasi, yaitu menyalahkan korban atas kekerasan yang dialaminya. Hal ini menyebabkan korban enggan melapor dan memperburuk angka gelap (dark number) kasus TPKS di Indonesia.
 
Secara sosiologis, meningkatnya TPKS dapat dipahami sebagai disfungsi sosial. Teori sistem sosial Talcott Parsons (2019) menjelaskan bahwa masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan ketika norma dan nilai sosial gagal mengendalikan perilaku individu. Dalam konteks ini, maraknya kekerasan seksual menunjukkan retaknya sistem moral dan lemahnya kontrol sosial.
 
Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS menjadi tonggak penting dalam penegakan keadilan berbasis korban. Namun, menurut Saraswati dan Lestari (2023), pelaksanaannya masih terhambat oleh minimnya pemahaman aparat dan kurangnya sumber daya dalam penegakan hukum. Akibatnya, meski telah ada kerangka hukum progresif, korban masih sering tidak mendapatkan keadilan secara cepat dan layak.
 
Solusi dan Langkah ke Depan :
1.Penguatan Implementasi UU TPKS
Pemerintah perlu memastikan bahwa aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim mendapatkan pelatihan berbasis gender dan perspektif korban agar tidak mengulangi bentuk kekerasan baru dalam proses hukum (KemenPPPA, 2023).
2.Pendidikan Seksual dan Kesetaraan Gender Sejak Dini
Pendidikan seksualitas komprehensif harus dimasukkan dalam kurikulum untuk membangun kesadaran moral, empati, dan tanggung jawab antarindividu (UN Women, 2023).
3.Pemulihan Korban dan Dukungan Sosial
Negara wajib menyediakan layanan psikologis dan hukum yang terintegrasi bagi korban melalui One Stop Service di tiap daerah. Hal ini dapat mempercepat proses pemulihan dan mencegah trauma berulang (Puspitasari, 2021).
4.Peran Media dan Masyarakat Sipil
Media diharapkan mengedepankan pemberitaan berperspektif korban serta menolak eksploitasi kasus kekerasan seksual demi sensasi publik (Komnas Perempuan, 2024).
 
Maraknya TPKS di Indonesia bukan sekadar isu kriminalitas, melainkan indikasi krisis moral dan lemahnya sistem sosial. Negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan budaya yang aman dan berpihak pada korban. UU TPKS adalah langkah maju, namun tanpa kesadaran sosial dan pendidikan empatik, hukum akan kehilangan rohnya sebagai pelindung kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun