Pernahkah kamu mendengar bagaimana lamaran pemuda Betawi kepada calon pengantin perempuan Betawi yang saling berbalas pantun khusus dijelaskan secara runtut di buku PLBJ anak SD? Atau mendengar kisah keberanian Mirah dari Marunda sebagai tokoh perempuan pembela kaum Betawi dari ketidakadilan para mandor Belanda?
Saya sudah tidak pernah mendengarnya, apalagi membacanya. Hanya tersisa buku-buku usang bekas saya SD yang mengendap di pojok gudang. Budaya, apalagi berbasis kearifan lokal sudah semakin samar terdengar dalam pendidikan nasional.
Perubahan kurikulum dalam kurun waktu yang singkat sebelum matang terimplementasikan dalam setiap segi kehidupan siswa hanya menciptakan dinamika keruwetan sebagaimana yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Belum lagi, ada terlalu banyak "penyederhanaan kurikulum" yang sejatinya justru menghilangkan berbagai konten pendidikan, khususnya kebudayaan yang miris dianggap sebagai "materi remeh" yang hilangnya ia dari muatan kurikulum dianggap tidak akan terlalu signifikan mempengaruhi para peserta didik.
Padahal sejatinya, kebudayaan itu justru bentuk ekspresi sejati dari hasil pengalaman dan pemikiran manusia. Kebudayaan menjadi media yang paling nyata dan saksi yang abadi bahwa manusia melalui berbagai lika-liku perjalanan yang menghasilkan berbagai pengalaman untuk kehidupan yang lebih baik seperti sekarang. Manusia hidup dari budaya, dalam budaya, dan kembali pada budaya.
Kebudayaan juga menjadi produk paling rill dari perjalanan peradaban dunia. Budaya hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari bagaimana hukum mengatur tata kehidupan manusia untuk menjaga keteraturan dan keamanan, keilmuan medis yang kian berkembang dengan langkah pertama berupa obat-obatan herbal sebagai hasil kebudayaan pengetahuan masyarakat saat itu, bagaimana budaya juga turut menjaga alam melaui petuah dan pamalinya, atau bagaimana ketika budaya justru menjadi aktor sejarah yang memicu penjajahan dunia. Maka sejatinya, budaya adalah manusia itu sendiri. Budaya adalah kita.
Berkaca dari bagaimana substansi kebudayaan terhadap hidup manusia itu sendiri, tentu sangat disayangkan apabila "ekstitensi" ini justru samar karena arus modernisasi, terlebih lagi justru meredup pada lingkup pendidikan yang sejatinya adalah pondasi pertama manusia belajar dan hidup bermasyarakat. Bagaimana bisa eksistensi sepenting dan seaktif ini justru "dipasifkan paksa" hanya karena ada "masalah" yang dianggap lebih besar, yaitu pacuan teknologi dalam modernisasi yang seolah menggunting semua hal yang berbau kearifan lokal. Karena anggapan inilah, semua hal yang berbau kearifan lokal dianggap sebagai "kekolotan" yang harus dihapuskan padahal mereka bukan penjajah.
Saya tidak denial dengan menganggap bahwa semua kearifan lokal adalah hal sakral yang harus selalu dipatuhi meski tidak selalu mengajarkan hal yang benar, terlebih dalam keadaan sekarang yang serba cepat, dinamis, maju, dan kita dituntut untuk selalu berlari agar tidak mati dilindas zaman. Namun setidaknya, jika kearifan lokal tidak lagi bisa hadir dalam kehidupan sekarang, biarkan anak-anak yang masih sangat belia hingga anak-anak muda tetap mengetahui dan memahami bagaimana budaya kearifan lokal tersebut hidup sebelumnya. Para siswa harus tahu bahwa kearifan lokal itulah yang membuat mereka bisa lahir di Bumi ini juga. Pun para siswa juga berhak tahu bagaimana sisi gelap dari beberapa kearifan lokal ini yang justru turut berperan dalam merampas kesejahteraan manusia, dengan harapan bahwa mereka kelak belajar bagaimana mencegah budaya yang buruk berulang karena mereka adalah sosok yang memimpin masa depan kelak. Masa depan kita.
Saya justru melihat peluang besar untuk kita di sini. Sebagai pemeran masyarakat di masa sekarang, kita sejatinya memiliki kemampuan yang secara tidak sadar terus berkembang menyesuaikan misi bertahan hidup yang diemban setiap manusia sesuai zamannya masing-masing. Manusia punya kreasi, kita punya kreasi. Skill kreatifitas ini dapat dimanfaatkan menjadi alat untuk tetap menyisipkan pendidikan berbasis kearifan lokal yang telah diseleksi untuk diserap dalam pendidikan karakter moral yang baik untuk para siswa dengan cara yang kreatif dan menyenangkan serta sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Karena bagaimanapun juga, sejatinya kearifan lokal itu sendiri justru menjadi alat seleksi budaya-budaya asing yang turut hanyut bersama arus modernisasi supaya kita tidak turut terhanyut dan tenggelam dalam gemerlap modernisasi. Kearifan lokal hadir sebagai jangkar agar kita tetap kembali pada kebudayaan asli kita, pengajaran-pengajaran baik yang mengingatkan kembali siapa kita serta menjadi jalan agar kita kembali "pulang" setelah mengarungi terlalu jauh belantara modernisasi.
Dengan begitu, terpautnya kearifan lokal dalam pendidikan di tengah arus modernisasi harus kembali memiliki "eksistensi" yang jelas dan diperhatikan lebih oleh pengembang kurikulum, khususnya Menteri Kemendikbudristek yang langsung membawahi aturan kewenangan mengenai kurikulum pendidikan di Indonesia ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI