Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Aku pada Jejak Waktu

6 Januari 2018   06:56 Diperbarui: 6 Januari 2018   16:36 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Di bulan Januari 2003, tertanggal 3 saat itu, kita sepakat tuk berlayar bersama. Prosesi ritual kita jalani dengan basah kuyup oleh musim penghujan. Sanak-saudara kita datangkan. Kerabat pun kita undang tuk menjadi saksi kita akan mengayuh samudra. Rangkaian pesta kecil dalam sehari turut mengiringi.

Sebuah perahu kecil kita ambil, kita kayuh bersama tuk mengarungi luasnya samaudra. Harapan pun membumbung, tuk bisa sampai ketepian dengan membawa hasil dan kebahagian. Di tengah perjalanan, badai gelombang kuat menerjang. Tiupan angin juga kencang, menghempas perahu yang kita kayuh. Kita berusaha bertahan di tengah badai dan gelombang. Harapan belum juga kita temukan.

Dalam perjalanan yang penuh rintangan, engkau dapatkan setangkai pegangan. Dari pegangan yang kecil, mengantarmu sampai ketepian hingga kini. Sang penyelamat hadir mematrimu di bingkai pendidikan. Sebuah jalan hidup yang sebelumnya mungkin tak kau bayangkan, "guru pengajian".

Namun, asa kita mengarungi samudra adalah menggapai mutiara yang tertanam di dasar samudra. Harapan itu begitu sulit kita raih. Berbagai jalan telah kita tempuh, berbagai saran telah kita turuti. Memohon kepada Yang Kuasa, sampai sang ahli. Hidup kita serasa hampa, sebab janji kita bukanlah mencari teman tuk makan bersama. Tapi, ada yang yang lebih hakiki, mencari sebuah "mutiara hati".

Kita tidak menyerah. Dengan doa-doa mengayuh perahu di tengah samudra, Tuhan mengabulkan permohonan kita. Di bulan kesebelas, kita temukan sebutir mutiara yang kau simpan dengan kasih sayang di dalam tubuhmu. Kita rawat dan kita jaga bersama, juga doa-doa. Bahtera yang kita tempuh, menemukan makna. 

Namun apa daya, Tuhan berkehendak lain. Ketika tujuh setengah bulan lamanya kau simpan, mutiara itu tiba-tiba jatuh dan tenggelam kembali di tengah samudra. Kesedihan sempat menghadang, tapi kita harus berjuang. Kita mencoba merenung dan mencoba mencari tahu penyebab mutiara kita hilang. Akhirnya, kisah itu kita temukan dari sebuah penelitian di sebuah laboratorium.

Kita sadar, kita tak boleh menyerah dengan keadaan. Ketika bekal hidup kita semakin menipis dan tak mampu membayar orang sakti, kita mencoba lebih dekat lagi kepada-Nya. Doa-doa kita lantunkan, janji-janji kita haturkan dengan sesaji-sesaji sebagai pengiringnya.

Empat bulan kemudian, doa kita kembali terkabulkan. Kita rengkuh kembali sebutir mutiara di tengah samudra. Kilaunya lebih sempurna. harapan kita akan semakin membahana. Sujud syukur kita selalu panjatkan. Gita puja selalu aku lantunkan di dekat kau simpan mutiara itu. Orang sakti tentu tidak kita tinggalkan karena kita mahkluk-makluk lemah di tengah bentangan samudra. Geliat mutiara terasa indah. Kilaunya memancarkan harapan. Hati kita semakin bahagia. Delapan setengah bulan kalender kau simpan rapi dalam ragamu dengan rasa penuh penantian akan waktunya segera tiba.

Suatu hari, di delapan setengah bulan itu, aku harus pergi ke tempat kerabat yang peduli dengan kita ketika memulai merakit perahu. Budinya harus kita balas juga karena mereka punya acara. Aku tinggalkan kau sendiri dari pagi hingga sore hari. Kesibukanku di tempat itu, tak melupakan pikiranku akan mutiara yang kau simpan. Pukul tiga sore aku mohon izin, meninggalkan acara yang sedang berlangsung. Rasa kangenku telah membuatku memberanikan diri untuk pamit dan janji untuk kembali.

Segera kupacu "si buntut" menyusuri jalanan desa agar segera kita bersua. Rinduku akan mutiara itu, memberimu pelukan hangat dan dekapan di tempat kau simpan mutiara itu. Kita mulai bercerita, tentang apa yang kau lalui sendiri di tengah samudra. Dalam ceritamu kau ungkapkan bahwa sedari pagi mutiara kita sinarnya meredup lagi. 

Hatiku gundah, pikiranku resah. Tapi tak kutunjukkan padamu agar kau tak turut gundah. "Mari kita tidur, sayangku"! ajakku tuk mencoba berbaring di atas perahu kita. Menit-demi menit; kueja; kuraba; kurasakan. Fillingku telah berkata lain; mungkin badai akan datang lagi. Aku segera berbenah diri sambil memohon ke hadapan-Nya. Kita sepakat tuk menepi, merapat menemui sang ahli. Berjam-jam kita sabar menanti, sampai saat kita tiba untuk meneliti dan menguji mutiara kita yang redup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun