"Lho, kok potongan pajak bulan ini lebih besar dari bulan lalu, padahal gajiku sama?" Keluhan semacam ini ramai terdengar di grup WhatsApp kantor sejak awal 2024. Banyak karyawan mendadak penasaran dengan singkatan yang dulu nyaris tak diperhatikan: PPh 21, pajak penghasilan bagi orang pribadi.
Padahal, sejak terbitnya PP Nomor 58 Tahun 2023 dan PMK Nomor 168 Tahun 2023, mekanisme penghitungan PPh 21 memang berubah cukup signifikan. Pemerintah menyebutnya sebagai penyederhanaan, tapi bagi banyak pekerja maupun tim HR, perubahan ini terasa seperti teka-teki baru.
Dari Tarif Efektif ke Rekonsiliasi Akhir Tahun
Aturan baru memperkenalkan sistem Tarif Efektif Rata-rata (TER). Singkatnya, untuk masa pajak Januari sampai November, pajak dipotong berdasarkan tarif rata-rata efektif yang sudah ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Baru pada Desember dilakukan "rekonsiliasi" --- menghitung total penghasilan tahunan dan menyesuaikan kembali potongan dengan tarif progresif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Tujuannya sederhana agar proses pemotongan bulanan lebih mudah bagi pemberi kerja. Tapi konsekuensinya, jumlah potongan PPh 21 tiap bulan bisa naik-turun tergantung perubahan penghasilan, tunjangan, atau bonus yang diterima pegawai.
Jadi, kalau dua orang memiliki gaji pokok sama, tapi salah satunya menerima tunjangan tambahan atau lembur, potongan pajaknya bisa berbeda meski dalam satu kantor. Inilah mengapa muncul kesan "gaji sama, potongan beda".
Lapisan Baru, Tarif Baru
Selain soal mekanisme, aturan baru juga mengubah lapisan tarif pajak. Lapisan pertama kini berlaku untuk penghasilan kena pajak (PKP) sampai Rp60 juta dengan tarif 5%, naik dari batas sebelumnya Rp50 juta. Sementara lapisan tertinggi --- untuk PKP di atas Rp5 miliar --- dikenai tarif 35%. Dengan perubahan ini, pemerintah ingin memastikan beban pajak terasa lebih adil: pekerja berpenghasilan rendah mendapat ruang lebih lega, sementara mereka yang berpenghasilan sangat tinggi menanggung pajak lebih besar.
Namun dalam praktiknya, banyak pegawai menengah --- terutama dengan penghasilan tahunan sekitar Rp80--150 juta --- justru merasa kebingungan karena perhitungan TER tidak mudah dibaca di slip gaji. Nominal potongan yang berubah tiap bulan menimbulkan persepsi "pajak naik", padahal sebenarnya perhitungannya disesuaikan dengan proyeksi tahunan.
Dampak untuk Perusahaan
Bagi perusahaan, sistem baru ini juga menuntut penyesuaian. Payroll system harus diperbarui agar mampu menghitung potongan dengan skema TER dan melakukan rekonsiliasi di akhir tahun. HR atau tim keuangan wajib lebih teliti, sebab kesalahan kecil bisa berujung pada koreksi pajak tahunan. Beberapa perusahaan besar sudah menggunakan software otomatis untuk menghitung PPh 21 versi terbaru. Tapi bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang masih melakukan perhitungan manual, ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi jika karyawan bertanya soal rincian pajak yang berubah tiap bulan --- dijelaskan dengan bahasa akuntansi, bisa tambah bingung.
Tidak Ada Pajak Baru, tapi Cara Baru