Matahari telah menampakkan wajahnya, sinarnya tak pernah berubah selalu menembus kaca ruang tamu di rumahku. Sambil ditemani singkong goreng dan teh menjadi pelengkap di pagi hari.
Tersedak, dan muka memerah, terkejut mendengar suara tertawa terbahak-bahak makin lama semakin menghilang dan kembali sunyi.
Suara itu berasal dari rumah tetangganya, Pak Tani memasung anaknya yang sudah sejak 5 tahun lalu mulai tidak waras akibat putus cinta, ditinggal oleh kekasihnya untuk merantau ke Kota lain.
Sambil membawa cangkul dan capingnya yang sudah berlubang setidaknya dapat melindungi kepala tandusnya dari terik sinar matahari. Hanya memakai kaus dan celana pendek yang sudah topo  tanpa alas kaki.
Pak Tani memang sejak kecil tidak suka memakai alas kaki, alasannya ingin menyatu dengan alam menjadikan dirinya lebih manusiawi.
"Setidaknya ketika saya berjalan tidak menginjak binatang kecil yang hidup di dalam tanah, mereka berhak untuk melanjutkan hidupnya, mereka tetap ciptaan Tuhan," jelasnya.
Pak Tani tinggal bersama anaknya yang tidak waras di rumah yang kecil, jika ada tamu yang datang sudah bisa melihat keseluruhan dalam rumahnya, yang di batasi oleh tumpukan jerami-jerami.
Atap yang sudah berwarna hitam dan terkelupas menjadi pelindung di saat hujan maupun panas yang datang tiba-tiba. Pada malam hari sering terdengar suara tokek di sekitar sini. Untuk penerangan hanya menggunakan lampu gantung itu pun tidak setiap hari dapat dipasang karena keterbatasan uang untuk membeli minyak tanah.
Pak Tani pun bercerita desa ini makin lama makin sepi penduduknya karena banyak yang mencari nafkah ke Kota-Kota lain. Gersang dan panas, siapa yang dapat hidup di tempat seperti ini.
"Biarlah aku hingga akhir hayatku di tanah tempat lahirku karena tempat ini terlalu banyak kenangan," tutupnya.