Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Bulan Terburuk di Awal Tahun yang Baru

16 Maret 2020   22:45 Diperbarui: 16 Maret 2020   23:20 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit Tapanuli Utara di Jam 16.11 (dokpri)

Saya bahkan kebingungan untuk menentukan sebuah kategori tulisan ini. Semoga ini pantas--disebut cerpen. Saya tidak menyangka kalau baru menghabisi 76 hari di tahun 2020 ini. Sehingga, jika setahun benar 365 hari. Saya masih harus melewati 289 hari lagi. Dibandingkan sebelumnya, tahun 2020 memang sungguh luar biasa.

Sepengamatan saya, hampir setiap hari--sulit mendapat ketenangan. Bukan hanya perkara berita pandemi COVID-19. Namun, rasa kemanusiaan yang semakin terhimpit. Dari kasus Indonesia sendiri, saya baru benar-benar lupa pernah terjadi kerusuhan 22 Mei 2019 yang telah meraibkan helm milik teman saya, setelah tahun sudah berganti.

Pening atas beberapa 'nama' menteri yang dilantik belum juga hilang. Melemahnya KPK dan 'keajaiban' Omnibus Law yang menghiasi beberapa media, meyakini saya untuk menutup telinga.

Puncaknya, kini Indonesia mendapati jatah pandemi COVID-19 yang persebarannya tidak main-main. Bahkan di Depok, bonus mendapat cap sebagai zona merah Demam Berdarah. Apakah posisi Luhut akan tersingkir? Sebagai sesuatu yang harus ditakuti? 

Tidak hanya itu, kini semua orang berdebat mengenai beberapa hal yang bukan kapasitasnya. WFH (Work From Home), Social Distance, Pembatasan Transportasi, dan sebagainya. Semua berlomba menjadi ahlinya. Saya tentu tidak menyalahkan, karena bisa jadi membuat keributan adalah passion mereka.

Ketimbang menyaring banyaknya informasi, rasanya perkataan ibu sore tadi patut untuk dipikirkan. Ini terujar, ketika ami membersihkan lantai bekas banjir akibat lupa memasang tanggul. "Kita cuma punya nyawa satu. Walaupun banjir atau kenapa-kenapa. Asalkan sama-sama, mama tenang."

Ternyata saya belum siap menghadapi banjir. Apalagi pandemi COVID-19. Yang beberapa pekan, saya sempat sepelekan. Pun mereka. Hari ini, mendengar beberapa kisah cukup menyedihkan--bagi saya.

Dia, terpaksa menutup kedainya beberapa hari.

Dia, panik karena beberapa hari lalu sempat kontak dengan pasien yang positif. 

Dia, menangis karena ditolak berkunjung menemui seorang anak di sebuah daerah. 

Dia, terpaksa menghadang kerumunan demi sebuah laporan pekerjaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun