Mohon tunggu...
kenya sochah naraswara
kenya sochah naraswara Mohon Tunggu... mahasiswa pendidikan bahasa Inggris

suka menonton film dengan genre misteri dan thriller

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Turis Kehilangan Kendali: Insiden Bule Mengamuk di Klinik Bali

11 Juni 2025   23:35 Diperbarui: 11 Juni 2025   23:20 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshoot rekaman video viral bule ngamuk di klinik Pratama Pecatu Bali. (Sumber: postingan di X, @yusuf_dumdum)

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pariwisata telah menjadi tulang punggung ekonomi Bali selama puluhan tahun. Pulau ini dikenal sebagai destinasi tropis yang menawarkan keindahan alam dan kekayaan budaya, menarik jutaan wisatawan dari berbagai penjuru dunia setiap tahunnya. Namun, di balik gemerlap pariwisata, Bali tidak luput dari persoalan yang kian mencuat, yakni perilaku sejumlah warga negara asing (WNA) yang meresahkan masyarakat lokal. Salah satu kasus terbaru di tahun 2025 yang sempat viral adalah aksi seorang warga negara asing (WNA) Amerika Serikat berinisial MM yang mengamuk di sebuah klinik kesehatan di Pecatu, Badung, Bali, pada 12 April 2025. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pengawasan dan peraturan yang lebih ketat terhadap WNA sangat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban di ruang publik.

Insiden meresahkan tersebut terjadi di Nusa Medika Klinik Pratama pada Sabtu dini hari, sekitar pukul 05.00 WITA. MM diantar ke klinik dengan menggunakan layanan taksi online dalam kondisi tidak sadarkan diri bersama seorang rekannya dan langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Namun, setelah sadar, MM justru mengamuk, menyerang temannya sendiri, dan merusak sejumlah fasilitas klinik seperti lemari dan peralatan medis. Bahkan, seorang pasien yang sedang dirawat terpaksa dievakuasi karena situasi menjadi tidak kondusif. Beberapa orang di lokasi telah mencoba untuk menghentikan aksi MM yang mengamuk, bahkan rekannya turut mencoba menenangkan MM untuk menghentikan perbuatannya tersebut. Namun, rekannya justru menerima respon yang buruk dari MM, diancam dengan sebuah pipa yang bisa digunakan untuk mencelakai orang-orang di sekitarnya. Video kejadian ini tersebar luas di media sosial dan memicu kemarahan publik. Meski akhirnya MM menyatakan permintaan maaf dan mengganti kerusakan senilai 35 juta rupiah, masalah yang lebih besar adalah lemahnya sistem pengamanan dan tanggapan terhadap kasus-kasus serupa yang sering kali hanya berujung pada penyelesaian damai. Warganet ramai-ramai mengutarakan pendapatnya pada kolom komentar di video yang tersebar di berbagai media sosial, isinya bermacam-macam mulai dari yang pro terhadap penyelesaian damai kasus tersebut, maupun yang kontra.

Fenomena WNA yang bertindak sewenang-wenang di Bali bukanlah hal baru. Berdasarkan data dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, dari bulan Januari hingga bulan Juli 2023 terdapat 198 WNA yang sudah dideportasi karena kasus pelanggaran yang mereka perbuat, seperti overstay dan kerja secara ilegal.

Situasi ini menunjukkan bahwa banyak WNA tidak memahami atau bahkan mengabaikan hukum dan norma yang berlaku di Indonesia. Ketika sanksi yang diberikan terbatas pada deportasi administratif tanpa proses hukum yang lebih tegas, efek jera menjadi minim. Kecenderungan menyelesaikan kasus secara damai, seperti dalam kasus MM di Klinik Pecatu, memperkuat kesan bahwa WNA bisa bertindak semaunya tanpa menghadapi konsekuensi yang tegas. Padahal, perilaku menyimpang di ruang publik, terlebih lagi jika sampai membahayakan orang lain, semestinya ditindak secara hukum sebagaimana warga negara Indonesia diperlakukan.

Pihak berwenang seperti Kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memang kerap turun tangan dalam menangani kasus-kasus tersebut. Namun, jika pendekatan yang diambil hanya sebatas reaksi setelah kejadian tanpa strategi jangka panjang, insiden serupa berpotensi terulang. Pemerintah daerah dan pusat perlu memikirkan regulasi lebih komprehensif, seperti pemberlakuan daftar hitam (blacklist) bagi wisatawan pelanggar hukum, peningkatan pengawasan terhadap WNA yang masuk ke Indonesia, serta edukasi hukum dan budaya lokal sejak awal kedatangan mereka.

Di sisi lain, fasilitas publik seperti klinik, rumah sakit, atau tempat umum lainnya harus dibekali sistem keamanan dan prosedur penanganan darurat terhadap situasi yang melibatkan pasien agresif, terutama WNA. Pelatihan bagi tenaga medis dan staf keamanan menjadi hal penting agar mereka dapat bertindak cepat dan aman ketika situasi memburuk. Semua ini bertujuan bukan untuk menolak wisatawan asing, melainkan untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan masyarakat lokal serta menjaga citra Bali sebagai destinasi pariwisata yang beradab.

Insiden bule mengamuk di Klinik Pecatu menjadi cerminan nyata bahwa pariwisata tanpa pengelolaan yang baik dapat menimbulkan kerugian sosial, budaya, bahkan keselamatan publik. Penyelesaian damai bukan berarti masalah selesai sepenuhnya, karena potensi kejadian serupa masih terbuka jika tidak ada langkah pencegahan yang sistematis. Oleh karena itu, pemerintah, pelaku pariwisata, dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan sistem yang menyeimbangkan antara keramahan terhadap wisatawan dan penegakan hukum yang adil dan tegas. Bali bisa tetap menjadi destinasi dunia yang terbuka, namun tetap harus menjadi tempat yang aman dan tertib bagi semua penghuninya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun