Jika dalam permainan sepak bola hattrick identik dengan prestasi pemain yang melesakkan gol 3 kali beruntun ke gawang lawan, hattrick Prabowo Subianto justru dimaknai sebagai kekalahan beruntun dalam 3 musim Pilpres. Maka, banyak orang bilang, tiada cerita yang lebih epik ketimbang kisah karir politik Prabowo.
Bukan hanya lantaran kalah Pilpres 2009, Pilpres 2014, Pilpres 2019 (versi hitung cepat). Tapi di setiap kekalahan itu, senantiasa ada drama dengan jalan cerita yang mengharu-biru. Umpamanya, secara mengingkari hasil hitung cepat (quick count).
Contoh lain, sujud syukur atas kemenangan yang dikreasikan sendiri. Real count sendiri, dihitung sendiri, diklaim sendiri, diumumkan sendiri, deklarasi sendiri, merasa menang sendiri, sujud syukur sendiri, dan merayakan sendiri.
Sementara seluruh negeri hanya melongo menonton sandiwara itu. Bahkan cawapresnya, Sandiaga, dengan wajah terpaksa hadir dalam pernyataan kemenangan yang (maaf) palsu itu. Pada titik inilah, rasa-rasanya memang benar apa yang dikatakan Gus Dur tentang Prabowo.
Kata Gus Dur, Prabowo merupakan sosok paling ikhlas. Ya, ikhlas menahan malu. Padahal, kalah Pilpres sebenarnya bukan perkara memalukan. Wajar dalam setiap kompetisi. Yang memalukan adalah ketika dalam setiap kekalahan, dipersembahkan drama berulang dengan jalan cerita yang konyol.
Apakah Prabowo masih awam pada pengetahuan quick count? Jelas tidak. Sebagai politisi ulung dan dikelilingi orang-orang berpengetahuan, Prabowo paham bahwa tingkat validitas hitung cepat mencapai 99%. Berbeda dengan survei elektabilitas.
Politik tahan malu inilah yang diyakini banyak orang tidak disetujui Sandiaga. Itulah yang menjelaskan, kenapa Sandi tidak nongol dalam dua deklarasi 'kemenangan' awal. Begitu pula AHY yang juga ogah menghadiri perayaan yang tampak dipaksakan itu.
Dua politisi muda ini masih punya masa depan yang Panjang, khususnya di 2024. Baik Sandi maupun AHY menyadari, dengan ikut merayakan kemenangan ala Prabowo dan orang-orang tua di kubu 02, mereka bakal abadi jadi bahan olok-olok.
Ingat, jejak digital itu abadi. Sudah abadi, pedih pula. Di era serba unggah sekarang ini, tiada yang bisa menghapus rekaman peristiwa epik para politisi. Ingatlah bagaimana sujud syukur Prabowo di Pilpres 2014 lalu.
Hingga detik ini, peristiwa tersebut sangat pedih sebagai bahan olok-olok untuk Prabowo-Hatta dan para sekutunya waktu itu. Dibuat narasi bermacam-macam tentang sujud syukur 5 tahun lalu, yang seluruhnya negatif dan mendelegitimasi Prabowo.