Gancu bukan sekadar alat untuk meraih yang tinggi, ia adalah cerminan dari kemauan untuk tidak menyerah pada hal yang berada di luar jangkauan.
Gancu, sebuah kata yang terasa asing di telinga sebagian besar dari kita, sejatinya adalah alat sederhana yang memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat agraris dan nelayan di masa lalu. Ia adalah sebuah galah panjang yang pada salah satu ujungnya dipasang kait atau pengait. Sederhana, namun fungsinya begitu beragam dan krusial. Dalam dunia pertanian, gancu menjadi perpanjangan tangan yang begitu berharga. Dengan gancu, petani bisa menjangkau buah-buahan yang menggantung tinggi di dahan tanpa harus memanjat, dengan hati-hati menarik tangkainya agar buahnya tidak jatuh dan rusak. Ia juga digunakan untuk menarik dahan-dahan yang sulit dijangkau saat panen atau pruning. Bagi para nelayan, gancu adalah alat penting untuk menarik atau mendorong tali, jaring, atau bahkan perahu itu sendiri saat berlabuh. Sebuah alat yang tak banyak dipandang, namun menyimpan cerita kerja keras dan ketepatan.
Gancu dibuat dari material yang ada di sekeliling mereka, mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan alam. Galahnya biasanya terbuat dari batang bambu yang kuat dan ringan, atau kayu keras yang diluruskan dengan cermat. Kekuatan galah ini sangat penting karena harus menahan beban saat menarik benda. Sementara itu, kaitnya bisa terbuat dari besi yang ditempa sedemikian rupa hingga membentuk lengkungan khas, atau kadang-kadang dari kayu yang sangat keras dan diukir hingga menyerupai pengait. Setiap detail dalam pembuatan gancu, dari pemilihan material hingga pembentukan kaitnya, dibuat dengan penuh perhitungan agar dapat berfungsi optimal sesuai dengan kebutuhan spesifik penggunanya. Bentuk kaitnya pun bervariasi; ada yang melengkung tajam untuk mencengkeram dahan, ada yang lebih tumpul untuk menarik jaring, menunjukkan betapa adaptifnya alat sederhana ini terhadap berbagai macam tugas.
Seiring berjalannya waktu, seiring dengan modernisasi teknologi, peran gancu perlahan digantikan. Di kebun-kebun, gancu yang dulunya menjadi andalan kini tergantikan oleh tangga lipat yang kokoh atau alat pemetik buah yang lebih canggih. Di pelabuhan, ia tergantikan oleh mesin derek atau tali tross yang lebih modern. Akibatnya, alat ini perlahan menghilang dari peredaran, dan kata "gancu" pun ikut menjadi kata arkais, tersimpan di dalam kamus, menjadi saksi bisu dari sebuah era yang telah berlalu.Â
Namun, meski bentuk fisiknya mulai jarang terlihat, gancu tetap hidup dalam ingatan kolektif, menjadi simbol dari perjuangan sederhana, ketepatan, dan tekad untuk meraih sesuatu yang berada di luar jangkauan langsung. Ia mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan, kadang kita membutuhkan alat yang tepat, sebuah perpanjangan dari kemauan dan usaha.
Warisan Gancu Kakek
Bukan galahnya yang meraih buah, tetapi tekad di baliknya. Itulah warisan sejati dari sebuah gancu.
Â
Sejak masa kecil, aku selalu melihat Kakek menggunakan gancu miliknya. Gancu itu bukan hanya sekadar galah kayu, tetapi lebih dari itu, ia adalah artefak yang penuh cerita. Setiap kali Kakek hendak memetik mangga di halaman, ia akan mengeluarkan gancu itu dari gudang. Dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, ia akan mengaitkan ujung galahnya pada dahan, menariknya perlahan hingga buah mangga itu jatuh tepat ke dalam keranjang yang ia siapkan di bawahnya. Bagiku, gancu itu seperti perantara antara langit dan bumi, sebuah jembatan yang menghubungkan keinginan dengan kenyataan. Keinginan untuk memiliki mangga yang lezat, yang berada jauh di atas, menjadi kenyataan berkat alat sederhana itu.