Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kasus Mirna, Adu Intelektualitas antara Publik dan Kepolisian

31 Januari 2016   20:23 Diperbarui: 1 Februari 2016   17:29 5044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jessica Kumala Wongso, tersangka dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin, setelah diperiksa oleh tim Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Sabtu (30/1) malam, akhirnya ditahan di rumah tahanan Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda Metro Jaya, Jakarta (KOMPAS/ALIF ICHWAN)

Menurut sudut pandang psikologi forensik, seorang yang melakukan pembunuhan dengan menggunakan racun kemungkinan besar karena dia tidak ingin berada di lokasi sebagai cara menghilangkan jejak. Hal ini berbeda dengan cara pembunuhan menggunakan alat atau senjata yang hanya mungkin terlaksana apabila korban secara fisik berada di dekatnya.

Rekontruksi adalah untuk mengetahui lebih jelas mengenai kejadiannya, CCTV dijadikan petunjuk mengenai orang-orang yang berada di sekitar korban sehingga jika dilihat dari sudut psikologi forensik, dijadikan Jesica Wongso yang berada di tempat kejadian menimbulkan keraguan.

Dalam kamus penyidikan, seorang yang sudah diduga kuat sebagai pelaku, pembelaannya hanya bernilai 5% kecuali si terduga harus mampu menunjukkan bukti yang sangat kuat untuk menepis dugaan itu. Penyidik dalam hal ini mempunyai kewenangan yang independen, tidak dapat diintervensi sehingga dalam kasus pembunuhan Mirna ini, penetapan tersangka Jesica Wongso berdasarkan pendapat penyidik dengan bukti-bukti antara lain rekaman CCTV.

Maraknya pemberitaan menyangkut kasus ini menjadi sebuah ajang adu intelektualitas antara Polri dan publik yang sekaligus menunjukkan dengan sendirinya terbangun sebuah kontrol dari penerapan hukum di Indonesia pada umumnya. Adalah menjadi sebuah pertanda positif agar penegakan hukum dilakukan secara jujur dan bersih.

Polri adalah lembaga yang menjalankan undang-undang namun sebaliknya setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar. Namun faktanya, tertangkapnya OC Kaligis menjadi bukti bahwa penegakan hukum dapat terjadi praktik KKN. Terjadinya praktik tersebut dimungkinkan karena kewenangan berpendapat yang dimiliki oleh aparat hukum yang menetapkan nasib seseorang.

Bukan tidak mungkin praktik semacam itu juga terjadi dalam sebuah proses hukum yang diawali dari kepolisian. Hukum, begitulah orang berdalih, hukum menjadi sebuah alasan yang bisa jadi diwarnai oleh KKN atau kepentingan. Adakah kepentingan di balik kasus Mirna?

Kasus ini sudah menjadi sorotan publik sehingga menjadi sebuah tekanan kepada penyidik agar segera menguak perkara ini. Keraguan sebagian publik bisa dimaklumi karena keraguan itu didasari pada pendapat yang berbeda. Apakah perbedaan ini dapat menjadi sebuah alasan untuk mempraperadilkan Polri? Tentu saja hal ini juga akan menjadi perdebatan, namun praperadilan bisa dilakukan terhadap adanya kesalahan prosedur atau ada pelanggaran kode etik dan dalam penanganan apakah ada pelanggaran dengan ditetapkan Jesica sebagai tersangka dan ditahan. Polisi memiliki bukti dan alasan terhadap keputusannya yang nanti akan diuji dalam persidangan yang bukan merupakan object praperadilan. Sederhananya, pembuktian apakah Jesica sebagai pelakunya akan ditentukan di pengadilan, itu yang terjadi pada Jesica.

Dalam hal ini peran PH tidak kecil, kembali kepada moral PH, apakah dia sungguh-sungguh akan melakukan pembelaan atau motivasi bayaran. Saya ambil contoh kasus, pengacara sekaliber OC Kaligis tidak bisa lepas dari budaya KKN. Jika hukum sudah terkontaminasi transaksi jabatan seperti ini, hukum itu menjadi sebuah kesepakatan, bukan sebagai keadilan.

Sebuah pengalaman, PH saya minta untuk menyanggah pengumuman di surat kabar yang berisi pemberitahuan bahwa saya telah menjual perseroan beserta asetnya. Semua dokumen perseroan ada pada notaris dalam proses peralihan saham 25% dari 99% yang saya miliki. Tanpa memegang dokumen tentunya saya tidak bisa melakukan pembelaan, PH ditetapkan sebagai tersangka penggunaan kop dan stempel perseroan tujuannya untuk membidik saya sebagai pemberi perintah.

Sudah P21, namun PH sebagai terlapor tidak pernah disidangkan, yang disidangkan saya sebagai pemberi perintah dan polisi pun tidak melakukan penahanan atas sangkaan dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Upaya apa yang saya ambil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun