Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyimak Jawaban SMI terhadap Kritik Fadli Zon

6 Maret 2018   23:38 Diperbarui: 6 Maret 2018   23:45 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jerome Powell, Gubernur The Fed ini ucapanya dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah atau bahkan mata uang dunia lainnya. Belum lama berselang dia mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga  yang dinilai mampu mengalihkan investor mata uang rupiah ke mata uang USD. 

Mengalirnya devisa keluar negeri menimbulkan kelangkaan USD dalam negeri yang menyebabkan penurunan nilai rupiah. Alasan ini digunakan oleh Menkeu dalam menanggapi sindiran Fadli Zon. Jika menyimak alasan Menteri Keuangan, nilai rupiah sesungguhnya sangat rentan oleh kebijakan negara lain seperti kenaikan suku bunga the fed. 

Harus diakui, kekacauan dalam nilai tukar ini menjadi pemicu tumbangnya orde baru. Pembangunan yang dibiayai oleh hutang luar negeri menjadi tidak efisien kalau dihantui korupsi dan gejolak rupiah. 

Pembangunan itu menjadi asumsi adanya kemajuan ekonomi kedepan dan ekspektasi peningkatan pendapatan negara. Kalau ekspektasi pendapatan negara tidak tercapai akan menjadi indikasi tidak berimbangnya efektifitas pembangunan itu. Solusinya, bisa saja salah satunya membuat pungutan baru yang tidak populer di masyarakat. Imbasnya tentu saja kepada citra kekuasaan. 

Jika kita menyimak tanggapan SMI terhadap sindiran Fadli Zon, akibat pengaruh global itu adalah jawaban sangat politis. Mungkin yang diharpakan oleh Fadli Zon solusinya adalah menaikkan pajak yang bisa menjadi komoditas politik apalagi menjelang pilpres.

Ganti kekuasaan ada kemungkinan ganti polecy dan memang faktanya demikian. Kalau pada pemerintahan SBY lebih cenderung menurunkan beban hutang luar negeri hingga lepas dari kendali IMF. Sedangkan pemerintah saat ini lebih cenderung membuka kran hutang terutama dari negeri China.

Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto ( PDB ) saat ini 29,2 %, sedangkan pada era akhir pemerintahan SBY adalah 24,7 %. Selama 10 tahun pemerinthan SBY rasio hutang dapat ditekan dari 40,3 % menjadi 24,7 %  Indonesia mengalami keterpurukan pada masa akhir Orde Baru dimana rasio hutang pada waktu itu 57,7 % terhadap PDB yang memaksa Indonesia dibawah kendali IMF. Bisa kita bayangkan, dengan rasio demikian, 57,7 % dari seluruh pendapatan devisa negara habis untuk bayar hutang luar negeri.

Perang saat ini bukan hanya menggunakan perang konvensional, namun juga perang ekonomi. Kita bisa melihat di jalanan, mungkin 90 % adalah produk jepang. Bisa dibayangkan berapa besar devisa kita yang lari keluar negeri hanya untuk alat transportasi saja.  

Pemenuhan kebutuhan barang import secara otomatis melemahkan bargaining mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Melemahnya daya beli akibat menurunya nilai rupiah paling tidak makin menjamurnya PKL untuk mengurangi biaya property. Keberadaan PKL ini belakangan juga menjadi komoditas politik, terutama di DKI.

Nyanyian Fadli Zon mungkin saja menyebalkan dan tidak perlu ditanggapi, namun sesungguhnya merupakan perimbangan dari sebuah kekuasaan dan jawaban politis SMI juga tidak perlu didebat karena bertameng kepada Gubernur The Fed. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun