Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kecap Istimewa HB X

7 Desember 2010   17:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:55 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adalah Panembahan Senopati, yang memerintah dari tahun 1584-1601 menjadikan sebuah awal dari berdirinya kerajaan Mataram Islam yang bercita2 mempersatukan wilayah nusantara terutama wilayah jawa menjadi sebuah kerajaan islam yang besar .  Senopati yang sangat dihormati oleh Rakyatnya sehingga disebut Panembahan yang berasal dari kata “sembah” yang berarti salam hormat, dilakukan dengan cara melekatkan kedua telapak tangan, dengan ujung jari ke atas, dan menyentuh ujung hidung. Inilah cara orang Jawa menghormati orang yang dituakan, atau pemimpin mereka, khususnya kepada keluarga kerajaan. Mataram mencapai puncak kejayaannya ketika diperintah oleh rajanya yang ke-3, Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Dibawah pemerintahannya, Mataram mendominasi seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Bukan sekedar raja, Sultan Agung juga merupakan seorang pejuang yang sangat tangguh di Jawa, yang dengan gigih melawan kolonialisme Belanda. Taktik militernya dalam menghadapi kekuasaan VOC hingga saat ini masih meninggalkan tapak yang tidak terhapus sepanjang masa. Bala tentara mataram yang dibekali kemampuan bertani adalah sebuah cara untuk mengatasi perbekalan perjuangan jangka panjang. Sisa2 taktik militer itu masih terlihat hingga saat ini dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar pusat pemerintahan VOC di batavia. Sebutan bahasa jawa serang, bahasa yang digunakan oleh masyarakat serang tersebut memang banyak kemiripan dengan bahasa jawa ketimbang dengan bahasa Sunda. Namun,  sepeninggal  Sultan Agung,dibawah  raja Mataram berikutnya  yaitu  Sunan Amangkurat I (1645-1677), kedigdayaan krajaan Mataram mulai pudar. Begitu juga dibawah raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya seperti pada masa pemerintahan Sultan Agung.

Kerajaan Mataram  dapat dikatakan runtuh  setelah dikacau berbagai pemberontakan, seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang memisahkan diri dari dari kekuasaan Mataram dan  mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703).  Lebih parah lagi terjadi perpecahan internal kerajaan dan Mataram pun terjerumus dalam 3 perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Semasa Mataram dipimpin oleh rajanya yang ke-10, Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749), dan berkedudukan di Kartasuro, pada tahun 1742 terjadi pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa, yang kemudian dikenal dengan sebutan Geger Patjina. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo, menantu Pangeran Mangkubumi. Pada saat pemberontakan terjadi, Paku Buwono II menyelematkan diri ke Ponorogo bersama sengkongkolannya  Van Hohendorf dan Wakil Gubernur Jenderal  Belanda Van Imhoff. Dengan bantuan VOC sengkongkolannya itu,   pemberontakan  Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo  berhasil ditumpas.  Setelah huru hsra antar keluarga kerajaan mataram  mereda, PB II meminta bantuan VOC lagi untuk  merebut kembali ibukota Mataram di Kartasura. Maka dibuatlah Perjanjian Ponorogo (1743), kontrak politik antara PB II dengan VOC tanpa melibatkan keluarga kerajaan mataram lainnya seperti Pangeran Mangkubumi. Akibat me- fait accomply saudaranya itu maka terjadilah perselisihan kekuasaan diantara keluarga kerajaan Mataram itu. Sementara itu, PB II juga menempuh langkah yang tak kalah menghebohkan dengan memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura yang telah porak poranda akibat geger Patjina tadi  ke Surakarta (1745).

Intrik dan perselisihan di dalam keraton terus berkepanjangan, sampai PB II digantikan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III. Untuk mendamaikannya, atas usulan VOC dibuatlah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Dengan perjanjian ini, Kerajaan Mataram dibagi dua. Sebagian kerajaan dikuasai Sri Susuhunan Paku Buwono III, dengan Keraton Surakarta Hadiningrat-nya, dan sebagian lagi dikuasai Pangeran Mangkubumi, yang selanjutnya menjadi sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan sebutan Sultan Hamengkubuwono I.  Di tahun 1757, lewat Perjanjian Salatiga, Sunan PB III pun menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said, yang memimpin pemberontakan Geger Patjina ketika Mataram diperintah oleh PB II. Raden Mas Said kemudian menyatakan diri sebagai Mangkunegoro I, dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795.  Agaknya, intrik, konflik dan pemberontakan merupakan suatu hal yang biasa terjadi di dalam keraton atau kerajaan pada masa lalu. Apa yang terjadi di Kerajaan Mataram yang akhirnya membawa Mataram pada kehancuran, terjadi pula di Keraton Yogyakarta. Masa kepemimpinan Sultan HB I ditandai dengan adanya pergolakan karena konflik antara anak-anak dan cucu-cucunya dalam memperebutkan kekuasaan.

Setelah Sultan HB I mangkat (1792), ia pun digantikan oleh anaknya Sultan HB II. Konflik yang terjadi di dalam keluarga keraton tak kunjung selesai, bahkan akhirnya meluap menjadi pertempuran yang melibatkan kekuatan koloni Belanda dan Inggris. Untuk mengimbangi kekuatan Sultan HB II, pada tahun 1813 Inggris lewat Gubernur Letnan Jenderal-nya, Sir Thomas Raffles, menganugerahi gelar kepada salah seorang saudara HB II, Pangeran Notokusumo, anak HB I dengan Ratu Srenggorowati, sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Paku Alam I. Paku Alam I pun diberi daerah otonomi yang terdiri dari 4.000 cacah di Pajang, Bagelan, sebelah barat Yogyakarta, dan sebuah daerah yang terletak di antara Sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto, sebelah barat Yogyakarta. Istana milik Kadipaten Pakualaman kita kenal dengan sebutan Puro Pakualaman.

Keberhasilan politik adu domba pemerintahan kolonial pada dasarnya telah menjadikan bangsa kolonial sebagai tuan dari dari penerus Sultan Agung. Sadar atau tidak, bahwa sesungguhnya perebutan kekuasaan tersebut mencerminkan sikap mementingkan diri sendiri ketimbang mementingkan rakyatnya yang berada dibawah cengkeraman bangsa penjajah. Kekuasaan sangat terlihat mengedepan sehingga prakarsa kolonial yang melahirkan perjanjian Giyanti dan salatiga tersebut yang memecah belah kerajaan Mataram telah memupuskan harapan Sultan Agung untuk mempertahankan kerajaan mataram sebagai negara yang berdaulat lepas dari cengkeraman bangsa lain.  Agaknya sejarah berulang, jika masa lalu harus berkolaborasi dengan pemerintahan kolonial agar kekuasaannya tetap langgeng walaupun harus pecah karena campur tangan kolonial itu, kini kekuasaan itu dituntut lagi kepada pemerintahan NKRI yang dipimpin oleh SBY.

Menilik sejarah diaatas, tuntutan keistimewaan Jogyakarta dengan Sri Sultan HB X  sebagai Gubernur seumur hidup menjadi membingungkan.  Mendukung Sri Sultan HB X sebagai Gubernur seumur hidup atau tidak menyukai SBY adalah pandangan yang tidak ada kaitannya dengan sejarah. Namun politik dapat menghalalkan segala cara termasuk mengganti undang2 atau menyimpangkan undang2 NKRI untuk ambisi sebuah kekuasaan.  Pernyataan Sri Sultan tentang regerendum adalah ungkapan politik, ungkapan politik yang tidak jelas dasarnya seperti tuntutan keistimewaan Jogyakarta. Mungkin sebaiknya masyarakat Jogyakarta harus menerima sebuah realita bahwa sesungguhnya kita semua telah lepas dari pemerintahan kolonial. Jika masa lalu pemerintahan kolonial dapat bermain, kini negara NKRI telah lepas dari tangan bangsa penjajah. Negara demokrasi ada ditangan rakyat, itulah sebabnya rakyat menjadi penting ditangan pihak yang ingin berkuasa termasuk Sri Sultan HB X. Negara terjajah telah berlalu, bangsa penjajah telah pergi dan tidak dapat lagi diajak berkolaborasi untuk mencapai ambisi kekuasaan. Kini suara rakyat menjadi penting, rakyatpun diajak bersuara. Riuh rendah suara rakyat bernuansa politik, banyak rakyat yang tidak mengerti tetapi berteriak lantang ... Istimewa... Istimewa .... Istimewa !!!. Kecap Istimewa HB X ternyata belum ada peminat serius, DPR seperti enggan mengurusi RUU DIY, mungkin kurang manis rasanya bagi wakil rakyat yang berasal dari seluruh Indonesia yang bernaung dibawah NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun