Mohon tunggu...
Perpustakaan Kementerian Keuangan
Perpustakaan Kementerian Keuangan Mohon Tunggu... -

"An investment in knowledge pays the best interest." -Benjamin Franklin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Chatib Basri, Seniman yang Menjadi Menteri Keuangan

20 November 2014   00:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:22 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14163927701215394101

Chatib Basri tumbuh tak ubahnya remaja kebanyakan. Di masa sekolah, bungsu enam bersaudara dari pasangan Chairul Basri dan Nurbaiti ini gemar bermain skateboard (papan luncur). Dede, begitu panggilan akrabnya, bahkan sempat menjuarai pertandingan half pipe sepulau Jawa. Teman sepermainan dan kakak kelasnya di SMA Kolese Kanisius, Wiyoso dan Lukas bercerita Chatib Basri adalah remaja yang pandai bergaul dan sangat santai. “Orangnya konyol, bercanda melulu, senang main teka-teki. Saya enggak pernah lihat dia serius”, kata Wiyoso. “Kita enggak ada gap generasi. Bandelnya juga sama. Di Kanisius enggak ada yang enggak bandel. ”, tambah Lukas.

Lukas mengingat, ia bersama Chatib sering bermain bola tangan bersama. Ketika itu, anak-anak jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) selalu jadi panitia kejuaraan bola tangan. Mereka juga kerap berkumpul di Taman Kodok, Taman Lembang, atau di Parkir Timur Senayan untuk sekedar duduk-duduk dan mengobrol. “Kolese Kanisius dikenal sebagai lembaga pendidikan khusus laki-laki. Jadi kita lebih sering berkumpul dengan teman-teman karena jarang yang punya pacar”, kenangnya.

Diceritakan oleh Chatib, di masa sekolahnya belum ada mal, aneka game, atau konser musik. Berbeda dengan anak zaman sekarang yang sering pergi ke restoran, ia dan teman-teman sebayanya dulu tidak punya uang. “Kalau pergi ngumpul cari tempat yang nggak bayar, termasuk saat merayakan tahun baru. Kalau mau kelihatan gagah masuk lobi hotel enggak ngapa-ngapain, enggak bayar dan enggak pesen makanan”, ujarnya.

Meskipun Chatib adalah adik kelas, ia juga turut menghadiri perpisahan kedua kakak kelasnya tersebut. Setiap tahun pada acara alumni day, Chatib juga selalu menyempatkan diri untuk hadir. “Ini menunjukkan bahwa dia gak pilihpilih teman”, kata Lukas. “Dia enggak pernah jaimkok sampai sekarang. Bahkan hingga saat ini jika bertemu sikapnya enggak berubah, masih menyapa elo-gue”, kata Wiyoso sambil tertawa.

Chatib adalah siswa yang pandai. “Dia selalu meraih peringkat satu di sekolah. Hobinya membaca dan pengetahuannya luas”, kata Wiyoso. “Dia juga seneng main. Walaupun sudah jadi ilmuwan dia enggak kayak orang kutu buku, dia gaul aja”, kata Lukas. Baik Wiyoso maupun Lukas melihat sosok Chatib Basri saat ini sebagai orang yang punya idealisme dan sangat lurus. Meskipun tidak menjadi menteri lagi, mereka yakin Chatib pasti akan punya pekerjaan lain yang bagus.

Menjadi ekonom sebenarnya bukan cita-cita Chatib kecil. Dibesarkan dalam keluarga yang berdarah seni, Chatib lebih berminat pada sastra dan seni. Keponakan dari sastrawan dan penulis skenario Asrul Sani ini, sejak remaja senang bermain teater, sempat mengolah naskah secara serius dan bahkan menjadi asisten pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Graha Bakti Budaya. “Tetapi orang tua saya mengatakan kamu enggak akan bisa hidup dengan kesenian. Saya disuruh sekolah yang (dianggap) bener agar jadi Insinyur, Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum atau Dokter”, katanya.

Saat menentukan jurusan kuliah yang akan dipilih, Chatib lebih berminat pada politik. Namun temannya menyarankan agar Chatib juga memilih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sebagai pilihan pertama, baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip UI) pada pilihan kedua. Alasannya jika tidak lulus pada pilihan pertama, masih mungkin lulus pada pilihan kedua. “Setelah diumumkan, eh saya masuk ekonomi. Saya bingung juga”, kata pria kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1965 ini.

Mula-mula Chatib tidak menyukai ekonomi. “Saya pikir rasanya malas, kesannya semuanya berkaitan dengan untung rugi. Namun setelah banyak bergaul dan mengobrol dengan dosendosennya, Chatib mulai terkesan. Beberapa dosen favoritnya antara lain Ibu Marie Pangestu, Profesor Iwan Jaya Azis, Dr. Sjahrir, dan Ibu Sri Mulyani. “Ibu Sri Mulyani pandai menjelaskan dengan cara yang gampang dan impresif. Mungkin itu yang membuat saya berubah dan suka”, kata pria berdarah minang ini.

Meski termasuk mahasiswa paling berprestasi, namun Chatib mengaku bahwa sebenarnya ia tidak terlalu suka sekolah. “Saya lebih senang main-main, makanya sekarang saya suka main game. Untungnya saya bisa mempelajari sesuatu dengan cukup cepat. Saat rapat di kantor saya juga berusaha memahami isunya dengan cepat. Itu yang mungkin membantu saya sehingga saya punya waktu untuk main-main”, ujarnya.

Lulus dari FEUI, pria berkacamata ini kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya dan mendapat gelar pascasarjana dalam bidang ekonomi pembangunan dari Australian National University pada tahun 1996. Kemudian, ia meraih gelar Ph.D dalam bidang ekonomi dari universitas yang sama pada tahun 2001.

Dalam wawancara tertulis lewat surat elektronik, Profesor Hal Hill yang membimbing disertasi Chatib Ia memandang Chatib mampu menggabungkan pengetahuan teknis dengan kerangka kerja politik-ekonomi. Hal ini membuatnya dapat merumuskan kebijakan ekonomi yang “utama-danterbaik” maupun pilihan “kedua yang terbaik”, sesuai keadaaan politik.

Menurut Hal Hill, meskipun banyak tokoh intelektual berbicara mengenai ekonomi politik, tetapi di Indonesia hanya Chatib Basri dan almarhum. Dr. Hadi Soesastro yang telah menulis hal ini secara akademis dan amat meyakinkan. “Saya mengikuti perkembangan karir beliau sejak menyelesaikan Ph.D-nya dan kembali ke Indonesia tahun 2001. Sebuah pencapaian karier dan bakti kepada negara yang besar. Bermula dari (menjadi peneliti) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebelum kemudian memasuki pemerintahan sebagai Kepala BKPM dan kemudian sebagai Menteri Keuangan. Saya yakin beliau akan terus mendermakan baktinya kepada Republik Indonesia dengan kontribusi yang semakin besar di tahun-tahun mendatang”, kata Hal Hill.

Sebagai menjadi pejabat publik tuntutan tugas yang diemban Chatib tentu sangat besar. Dikatakannya, sejak menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modak (BKPM) tahun 2012 dirinya tidak pernah tidak pernah mengambil cuti. “Presidennya saja nggak pernah cuti masa saya mau cuti”, kata Chatib.

Untuk menjaga keseimbangan hidup, Chatib selalu mencoba meluangkan waktu bersama keluarga. “Jam kantor normal, umumnya jam 8 malam sudah pulang. Saya nggak terlalu sering rapat malam. Sabtu atau Minggu kalau nggak terpaksa kerja saya habiskan bermain Play Station dengan anak. Saya temani dia potong rambut atau saya ajak dia jalan-jalan ke mal”, ujar suami Dana Iswara, mantan presenter senior untuk program berita di stasiun televisi ini.

Di luar pekerjaan, pada tahun 2009 Chatib bergabung pada The Generation 21 Dialogue, sebuah kegiatan bagi generasi muda berprestasi dari 16 negara-negara di Asia-Pasifik untuk mendiskusikan tantangan dan peluang di Abad 21, serta menggali solusi dan kemampuan yang perlu dimiliki oleh para generasi muda dalam menghadapinya. “Dari situ saya kenal Butet Manurung, Dian Sastro dan dan Agnes Monica. Jalinan persahabatan ini kemudian berlanjut di sosial media. Untungnya kalau di-retweet Agnes adalah dia follower-nya banyak”, kata Chatib sambil tersenyum.

Chatib mengatakan, orang tuanya pernah berpesan agar dirinya menjalankan sesuatu karena memang suka dan mau, bukan karena mengejar status. “Saya pernah ditanya, sekolah mau ngapain? Saya jawab supaya dapat master. Padahal lulus S2 adalah konsekuensi, bukan tujuan. Kalau berbuat sesuatu karena kamu suka, yakin bisa, dan kompeten di situ, outcome dan status sosial hanyalah akibat. Contoh gampangnya, saat bermain musik dipanggung mainlah sebaik-baiknya. Soal tepuk tangan adalah urusan penonton. Jangan berpikir tampil di atas panggung untuk dapat tepuk tangan.” tutup Chatib.



Artikel terkait dimuat pula di http://www.kemenkeu.go.id/emagz/media-keuangan-oktober-2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun