Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pasca Kekalahan Indonesia dari Brasil di WTO

29 Agustus 2019   15:34 Diperbarui: 29 Agustus 2019   15:56 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.poultryindonesia.com

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa pemerintah akan membuka keran impor ayam beku dari Brazil pasca kekalahan Indonesia menghadapi gugatan Brasil di Dispute Settlement Body  atau Badan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Dunia (DBS WTO). 

Sebelumnya sejak 2009, izin impor ayam dari negara eksportir daging ayam terbesar dunia itu memang tidak diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan karena produk daging ayam beserta turunannya sampai saat ini belum ada di dalam peraturan Kementerian Pertanian. 

Daftar positif impor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan juga menambah kekesalan Brasil karena produk daging ayamnya berada di luar daftar positif tersebut. Yang menyebabkan ayam Brasil hanya diperuntukkan khusus dunia perhotelan, restoran, dan katering. Di samping itu, daging ayam dari Brasil tak berhasil memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti sertifikasi kehalalan dan kesehatan.

Brasil bersikeras bahwa menurut peraturan WTO, pembatasan dagang antarnegara hanya bisa dilakukan melalui tarif atau sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan kesehatan. Brasil menilai apa yang dilakukan Indonesia benar-benar telah melanggar asas perdagangan bebas yang saat ini dianut oleh hampir semua negara.

Pelanggaran asas perdagangan bebas yang sedang dilakukan pemerintah itulah yang membuat geram Brasil dan kemudian menggugat hal tersebut ke WTO. Gugatan sudah diajukan Brasil sejak tahun 2014 silam. Gugatan tersebut berupa upaya Brasil untuk membentuk sebuah Panel ke DBS WTO dengan kode kasus DS484: Indonesia-Measures Concerning the Importation of Chicken Meat and Chicken Products. Namun, sebagian gugatan tersebut baru dikabulkan oleh DBS pada tahun 2017. 

DBS mengeluarkan putusan berisi tujuh ketentuan yang mana empat di antaranya dimenangkan oleh Brasil dan sisanya (tiga) dimenangkan oleh Indonesia. Indonesia memenangkan ketentuan yang berupa diskriminasi persyaratan pelabelan halal produk impor, persyaratan pengangkutan langsung dan pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan produk ayam dimana Brasil dinilai gagal membuktikannya secara langsung karena tidak dapat menunjukkan adanya pelanggaran kebijakan yang tidak tertulis.

Sementara itu, empat ketentuan yang dimenangkan Brasil adalah berupa daftar positif impor, persyaratan penggunaan produk impor, prosedur perizinan impor, menetapkan persyaratan pencantuman tetap data jenis, dan penundaan proses penerbitan sertifikasi kesehatan (yang mana hingga tahun 2019 ini proses penerbitannya masih terkatung-katung). 

Pasca gugatan yang diajukan Brasil disetujui oleh DBS WTO, pemerintah Indonesia nihil dalam mengajukan banding atas putusan dari gugatan Brasil. Akibatnya, pemerintah berusaha segera merevisi peraturan-peraturan yang kontradiktif dengan keputusan DBS dan menyesuaikannya. Untuk memberi waktu dalam proses penyesuaian itu, pemerintah menerapkan sebuah skema switch import goods ayam dengan daging sapi dari Brasil.

Pemerintah berdalih bahwa kebutuhan ayam dalam negeri saat ini sudah sangat tercukupi, malahan kerap  terjadi oversupply yang menyebabkan harganya anjlok hingga lebih dari separuh harga normalnya. Dibukanya keran impor ayam jelas merugikan para peternak ayam yang sudah merugi sebelumnya, makin merugi lagi sesudahnya.

Di sisi lain, penawaran daging sapi domestik di Indonesia masih sangat kewalahan menghadapi permintaannya. Maka dari itu, celah kebutuhan sapi yang masih sangat tinggi ini adalah solusi paling masuk akal untuk menggantikan impor ayam.

Langkah switch import goods pemerintah ini dapat dipahami sebagai langkah yang cukup berhati-hati. Dikarenakan pemerintah berupaya menghindari skema pemberian tarif terhadap produk ayam dari Brasil. Menurut saya, itu bukan berarti pemerintah tidak berani mengingat Brasil bisa kapan saja melakukan tindakan retaliasi berupa pemberian tarif yang sama terhadap ekspor komoditas Indonesia dan juga pembatasan terhadap ekspor jagung Brasil ke Indonesia. 

Bisa-bisa jika pembatasan ekspor jagung dilakukan, ini malah berdampak sangat buruk kepada harga ayam potong di Indonesia yang sudah cukup murah mengingat Indonesia tidak mempunyai pasokan jagung yang cukup stabil untuk memenuhi permintaan dalam negerinya. 

Sayangnya lagi, Brasil adalah salah satu importir jagung terbesar Indonesia ketika pasokan jagung dalam negeri sedang tidak stabil dan harga jagung Brasil hampir dua kali lebih murah dari Indonesia. Dan sayangnya lagi dan lagi adalah karena 70% total harga produksi ayam di Indonesia dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga pakannya yang berbahan dasar jagung tersebut. 

Kenapa harga jagung Indonesia bisa lebih mahal dari Brasil?

Menurut guru besar saya, Prof Catur Sugiyanto dalam tulisannya di rubrik Kompas, hal tersebut didasari pada kenyataan bahwa rata- rata lahan jagung di Indonesia sangatlah kecil serta penghilirannya yang begitu panjang dari petani kemudian ke tengkulak baru setelahnya diserahkan ke perusahaan pakan ternak. Panjangnya proses hilirisasi jagung tersebut yang seringnya membuat harga jagung Indonesia jauh lebih mahal daripada Brasil. Ditambah lagi letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat biaya transport/angkut jagung membengkak.

Sementara itu di Brasil, produksi jagungnya telah menggunakan berbagai teknologi penanaman seperti hibridisasi pengelolaan dan adanya manajemen tanaman (crop management practices). Pemberian subsidi kepada konsumen jagung juga memberikan insentif yang cukup bagus tak hanya kepada konsumen, namun juga kepada para petaninya karena dengan demikian pasar jagung Brasil tetap dapat bergairah. 

Dua tahun pasca putusan

Para diplomat dagang Indonesia-Brasil berhasil menengahi persoalan penerbitan sertifikasi halal yang lama dengan sementara menukar impor ayam Brasil dengan impor daging sapinya. Harapannya adalah tidak lama pasca putusan DSB, Indonesia bisa dengan cepat menerbitkan sertifikasi halal dan segera mematuhi keputusan tersebut secara penuh.

Namun sayangnya, hingga saat ini (dua tahun setelahnya) Indonesia masih belum mampu menerbitkan sertifikasi halal sebagaimana yang diminta oleh Brasil. Ditambah pula Brasil tak lagi menyukai skema tukar impor daging sapi dikarenakan prosesnya memakan waktu yang sangat lama.

Alasan-alasan itulah yang menjadikan landasan utama Brasil pada tanggal 13 Juni 2019 lalu meminta WTO "sekali lagi" untuk membentuk sebuah panel kepatuhan. Panel ini yang akan mengamati proses keputusan selama dua tahun belakangan ini apakah sudah benar-benar dilaksanakan oleh Indonesia. Sebulan sesudahnya, tepatnya Juli 2019 Indonesia akhirnya untuk kedua kalinya dinyatakan kalah lagi dalam gugatan di WTO.

Karena tak ingin malu di dunia internasional, Agustus silam Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan akan membuka keran impor ayam. Pengiriman bakal dilakukan dalam berjangka waktu dari bulan September hingga Desember nanti. 

Antisipasi pemerintah

Adanya ancaman serbuan impor ayam Brasil ini sebenarnya tidak selalu harus dikonotasikan secara negatif oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Melihat semakin ke sini, semakin hilang batas-batas antarnegara dan semakin tak terelakkannya perdagangan bebas internasional, sudah sepatutnya kita tidak menyalahkan negara yang ingin ekspor ke negara kita. 

Hal yang paling penting adalah ketahanan dan keberlanjutan dari komoditas-komoditas kita untuk bersaing dengan komoditas asing macam daging ayam Brasil ini. Apa yang telah dilakukan Brasil terhadap ketahanan kapasitas produksi ayam beserta jagungnya patut kita tiru dan coba, tanpa rasa malu mengakui kehebatan strategi produksinya. 

Peningkatan efisiensi proses produksi ayam nasional harus menjadi PR utama pemerintah dalam upayanya bertarung dengan ayam-ayam dari Brasil maupun negara lainnya.

Penyediaan pakan ayam yang murah sudah menjadi kewajiban pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menjaga harga ayam kita relatif stabil. Guru besar saya, prof Catur Sugiyanto juga menyarankan adanya praktik pertanian terintegrasi dengan prinsip zero waste spaya menekan biaya produksinya. Beliau juga menyarankan para peternak ayam untuk memanfaatkan limbah ayam menjadi biogas yang mana nantinya menghasilkan pasokan listriknya sendiri. 

Untuk skala produksi besar semacam perusahaan JPFA (Japfa Comfeed Indonesia), beliau menyarankan adanya sistem satelit, berprinsip ekonomi lokal berbasis zero waste sehingga kombinasi dari semuanya akan menghasilkan komoditas ayam yang mampu berkompetisi dengan ayam-ayam di seluruh penjuru dunia.

Ke depannya kita tak lagi takut dengan istilah "impor" atau "asing" karena kuantitas dan kualitas komoditas kita sendiri jauh lebih baik daripada mereka dan malah kita bisa "menjajah" negara mereka dengan komoditas-komoditas kebanggaan kita.

Kepustakaan : 

Link Link Link Link

Sulistyowati, R., Adityowati, P. 2019. "Pukulan Beruntun dari Jenewa".  Majalah Tempo edisi 26 Agustus - 2 September 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun