Lagu Tabola Bale dari Nusa Tenggara Timur menampilkan perpaduan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan sedikit bahasa Minang dengan nuansa jenaka, cair, dan segar. Liriknya sederhana, tetapi penuh daya tarik karena memadukan humor, keakraban, dan ekspresi budaya lokal yang kuat. Ketika lagu ini dibawakan di Istana Merdeka pada HUT RI ke-80, suasana yang biasanya penuh protokol resmi berubah menjadi lebih santai dan meriah. Presiden, pejabat negara, aparat, hingga tamu undangan larut dalam joget bersama, menciptakan pemandangan yang jarang terjadi di ruang kenegaraan. Tidak berhenti di sana, peristiwa ini dengan cepat menyebar di media sosial, ditonton jutaan orang, ditirukan oleh banyak pengguna, dan menjadi viral sebagai bentuk kegembiraan kolektif yang lintas batas daerah maupun generasi.
Dalam perspektif komunikasi kritis, fenomena ini memperlihatkan bagaimana budaya populer dapat berfungsi sebagai bahasa politik. Tabola Bale bukan hanya sekadar hiburan, tetapi sebuah simbol yang membawa pesan kebersamaan, inklusivitas, dan energi muda. Ekspresi lokal anak-anak muda dari Timur yang selama ini sering dipandang dari pinggiran tiba-tiba diangkat ke panggung nasional dan bahkan masuk ke pusat kekuasaan negara. Hal ini menjadi bentuk pengakuan simbolik bahwa Indonesia bukan hanya tentang pusat, tetapi juga tentang keberagaman daerah. Namun, pengakuan simbolik ini tidak selalu sejalan dengan keadilan struktural. Di balik perayaan budaya, masyarakat Timur masih menghadapi ketimpangan sosial-ekonomi, terbatasnya akses pembangunan, serta minimnya perhatian serius terhadap kesejahteraan mereka.
Di ranah digital, Tabola Bale juga mencerminkan paradoks media baru. Lagu yang lahir dari ekspresi lokal bisa dengan cepat memperoleh ruang viral dan menembus perhatian publik nasional hingga internasional. Akan tetapi, di sisi lain, keuntungan dari viralitas ini lebih banyak dinikmati oleh platform digital global seperti YouTube dan TikTok melalui monetisasi, sementara para kreator dan musisi lokal masih berjuang dari pinggiran industri musik yang sangat kompetitif. Inilah wajah paradoks budaya digital: membuka peluang ekspresi tanpa batas, tetapi sekaligus menempatkan kreator dalam relasi kuasa yang tidak seimbang.
Saya memandang peristiwa Tabola Bale di Istana Merdeka sebagai momen penting yang menunjukkan bahwa kebudayaan lokal mampu menembus pusat kekuasaan sekaligus menggerakkan ruang publik nasional. Ini adalah bukti bahwa kreativitas dari daerah dapat menjadi inspirasi dan kekuatan pemersatu bangsa. Pengakuan simbolik semacam ini patut diapresiasi karena memberi ruang bagi suara-suara dari pinggiran untuk tampil di depan. Namun, sebagaimana diingatkan oleh analisis komunikasi kritis, pengakuan pada tingkat simbol saja belum cukup. Jika negara hanya berhenti pada perayaan budaya tanpa memberikan solusi nyata atas persoalan struktural, maka kehadiran lagu ini berisiko menjadi sekadar alat legitimasi politik belaka.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa keterlihatan budaya daerah juga diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang melahirkannya. Anak muda kreatif dari Timur jangan hanya dijadikan ikon kebanggaan sesaat ketika viral, tetapi harus diberikan ruang, dukungan, dan fasilitas untuk berkembang secara berkelanjutan. Selain itu, regulasi dan kebijakan yang lebih adil dalam industri kreatif perlu dikembangkan agar karya-karya lokal tidak hanya populer, melainkan juga memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi penciptanya. Dengan begitu, viralitas budaya dapat benar-benar menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi kreatif di daerah, bukan hanya menjadi hiburan publik semata.
Dengan kata lain, Tabola Bale tidak hanya menyampaikan pesan gembira melalui tawa, tarian, dan nuansa persaudaraan, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa keadilan sosial harus berjalan seiring dengan perayaan budaya. Kegembiraan yang tampak di istana tidak boleh berhenti sebagai simbol, melainkan harus diwujudkan dalam langkah nyata untuk menghadirkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama mereka yang selama ini bersuara dari pinggiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI