Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei seharusnya menjadi ruang reflektif, bukan sekadar seremonial. Di tengah semaraknya ucapan dan slogan, muncul pertanyaan mendasar sejauh mana sistem pendidikan kita memberi ruang bagi siswa untuk berpikir secara kritis, bukan hanya patuh terhadap kurikulum yang cenderung linier? Dalam dunia yang bergerak cepat, pendidikan kita justru sering berjalan pelan, jika tidak stagnan. Di sinilah letak paradoksnya, kita mendambakan inovasi namun tetap terjebak dalam sistem yang statik.
Antara Aspirasi dan Realitas: LOTS Masih Dominan
Data empiris menunjukkan bahwa mayoritas siswa Indonesia masih berada pada level berpikir rendah atau LOTS (Lower Order Thinking Skills). Dalam laporan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, skor siswa Indonesia untuk literasi membaca, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata OECD. Tidak hanya itu, lebih dari 70% siswa hanya mampu menjawab soal yang bersifat mengingat dan memahami, belum mencapai kemampuan menganalisis, mengevaluasi, apalagi mencipta.
Fenomena ini berbanding lurus dengan model pedagogi yang masih dominan: teacher-centered, di mana guru menjadi sumber utama pengetahuan dan siswa menjadi penerima pasif. Pola ini, meski efektif untuk transfer informasi, justru membatasi ruang eksplorasi, refleksi, dan dialog yang menjadi inti dari berpikir kritis.
Kurikulum Bergerak, Praktik Mengajar Tertinggal
Kebijakan pendidikan Indonesia sebenarnya telah berupaya mendorong pembelajaran berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills), terutama sejak implementasi Kurikulum 2013 dan kemudian Kurikulum Merdeka. Namun dalam praktiknya, gap antara kurikulum dan implementasi di kelas masih lebar. Banyak guru menghadapi tantangan untuk menerjemahkan konsep HOTS dalam proses pembelajaran karena keterbatasan pelatihan, beban administrasi, hingga budaya sekolah yang belum adaptif terhadap perubahan.
Sebuah studi dari World Bank (2020) bahkan mencatat bahwa meski 80% guru mengetahui konsep HOTS, hanya sekitar 30% yang benar-benar menerapkannya dalam proses pembelajaran. Ini menandakan bahwa kebijakan saja tidak cukup. Diperlukan dukungan sistemik, mulai dari pelatihan guru berbasis praktik, penyusunan asesmen autentik, hingga kepemimpinan sekolah yang progresif.
Hambatan Struktural dan Budaya Evaluasi
Di luar ruang kelas, struktur sistem pendidikan juga belum sepenuhnya mendorong perkembangan berpikir kritis. Ujian nasional yang dahulu sangat dominan dalam menentukan nasib siswa telah digantikan oleh Asesmen Nasional, namun budaya evaluasi berbasis skor dan ranking masih kuat. Sekolah masih sering dinilai dari hasil numerik semata, bukan dari kualitas proses belajar.
Selain itu, budaya sekolah yang cenderung hierarkis dan otoritatif - di mana guru adalah tokoh utama yang tidak boleh dikritik - membentuk iklim belajar yang kurang sehat bagi pengembangan nalar kritis siswa. Di sini, berpikir kritis bukan hanya tentang kemampuan akademik, tetapi juga menyangkut keberanian untuk bertanya, menyanggah, bahkan menyampaikan pendapat yang berbeda. Tanpa ruang aman untuk semua itu, pendidikan hanya menjadi latihan ketaatan, bukan latihan berpikir.