Mohon tunggu...
Pipit Permatasari
Pipit Permatasari Mohon Tunggu... -

Hidup adalah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sandiwaranya Para Pemberi Bantuan

25 Februari 2014   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia ini adalah panggung sandiwara. Ini adalah satu lirik lagu yang terkenal di era tahun 90an. Lagu ini tentu saja semua orang mengetahuinya. Lagu karya penyair Deddy Dores yang dibawakan oleh penyanyi asal Bandung Almarhumah Nikke Ardilla. Lagu ini tentu saja dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu.
Yupz... sepenggal lirik ini sangat menggambarkan kondisi pada  saat ini,  dimana hampir setiap manusia dipenjuru Indonesia bebas memainkan perannya sesuai dengan sandiwara mereka. Ada aktor yang pintar memainkan peran antagonis, ada aktor yang pintar memainkan peran  protagonis. Tentu saja peran-peran ini bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mencapai tujuan  dan rencananya.
Salah satu contohnya saja, pada saat mendekati momentum pemilihan umum baik itu pemilihan calon anggota legislatif atau caleg, maupun pemilihan presiden. Mereka,  orang-orang yang memiliki tujuan sibuk untuk memilih perannya masing-masing. Dari peran itulah, bagi yang menjiwainya maka akan mencapatkan keuntungan. Keuntungan  yang dimaksud adalah keberhasilan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Di momentum pemilu aktor yang banyak bermain dalam sandiwara ini adalah para politikus. Mereka berusaha untuk mengambil peran yang sesuai dengan apa keinginannya. Misalnya, peran antagonis atau protagonis. Dimana para calon anggota legislatif yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki tujuan untuk bisa mendapatkan suara terbanyak dari calon pemilihnya di daerah pemilihan atau dapilnya masing-masing.  Mendekati masa pencoblosan yang akan gelar pada 9 April mendatang, para politikus bisa berubah menjadi malaikat penolong bagi warga masyarakat yang kurang mampu. Mereka sangat lihai memainkan peran itu. Tak tanggung-tanggung. Mereka bisa menghabiskan uang ratusan juta, miliaran bahkan triliunan.
Buktinya, mereka mampu memberikan bantuan paket sembako, biaya kesehatan dan pendidikan bagi warga kurang mampu. Tentu saja ketiga item tersebut merupakan isu yang paling mudah digarap oleh pelaku sandiwara untuk menggaet hati rakyat. Dimana biaya kehidupan semakin tinggi, sementara ekonomi warga miskin tidak cukup untuk menopang itu semua. Maka dari itu, ketiga isu inilah yang sering dimainkan oleh para politikus yang ingin mendapatkan hati warga miskin tersebut.
Pada  setiap kesempatan melakukan sosialisasi di dapilnya, caleg yang sudah terdaftar ini selalu membawa bingkisan yang menarik. Tentunya bingkisan  itu tidaklah gratis.  Para caleg itu berharap agar bingkisan yang sudah diberikan bisa ditukar dengan perolehan suara.
Satu contoh saja yang sering saya temukan  disetiap melakukan peliputan sosialisasi caleg di berbagai tempat dari partai yang berbeda. Misalnya caleg dari partai penguasa yakni Partai Demokrat, Partai Golkar,  Partai Hanura dan Partai Gerindra. Masing-masing caleg ini sangat pintar sekali memainkan peranannya sehingga warga miskin itu bisa jatuh hati kepada kebaikannya.  Ironis memang ditengah keluguan warga miskin, mereka dengan leluasa memanfaatkannya.
Sedikit saja saya menceritaka  prilaku caleg dari salah satu partai politik peserta pemilu 2014 tahun ini. Saat itu, saya melakukan peliputan sosialisasi mereka. Caleg dengan dapil Jakarta Timur. Tepatnya di kecamatam Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Kondisi disana sedang dilanja banjir hingga 3 meter  selama sepekan. Namun saat caleg tersebut mengunjungi lokasi, banjir sudah mulai surut. Disana caleg itu memberikan paket sembako, obat-obatan dan asuransi. Hampir tiga jam saya menemaninya menyurusi rumah-rumah warga yang terdampak banjir. Dari penelusuran yang saya lakukan memang kondisinya sangat memperihatinkan. Wajah lugunya, hingga kini masih terekam di memori saya. Kasihan sungguh. Tapi saya menyayangkan kenapa mereka masih tetap bertahan  tinggal di bantaran kali yang muaranya langsung ke Banjir Kanal Timur, BKT.
Setelah menyusuri pemukiman warga, kami pun beristirahat di sebuah posko pengungsian yang dibuat untuk menampung korban banjir. Entah karena keletihan atau apa saya tidak mengerti.  Salah satu caleg perempuan itu dengan polosnya mengatakan kalau bukan karena ingin mendapatkan suara  mereka. Dia, caleg perempuan dengan dandanan menor itu tidak akan ribet-ribet datang ke lokasi banjir untuk memberikan bantuan. Pokoknya caleg itu berharap apa yang sudah ia keluarkan harus ada imbalannya berupa suara mereka harus diberikan kepada caleg itu pada saat pencoblosan nanti.  Tersentak saya mendengarnya, naif benar apa yang ada difikiran caleg itu. Kalau pun memang niatnya hanya untuk perolehan suara, apa pantas diutarakan. Bukannya lebih baik ada dibenaknya saja. Cukup dia dan Tuhan saja yang mengetahuinya.
Ekspresi kaget, marah dan menyayangkan pun mewarnai mimik muka saya. Dengan senyum mencibir saya hanya mengatakan oh begitu yah mba. Semoga sukses ya mba.
Hemm ini adalah satu contoh dari sekian ribu prilaku caleg yang akan bertarung memenangkan kursi DPRD, DPD maupun DPR RI. Saya pun yakin, bantuan- bantuan yang diberikan itu tidak ada yang murni dan tulus. Bantuan itu semua hanya mengharapkan imbalan suara perkepala.
Kasian memang warga miskin selalu dijadikan  objek bagi mereka yang ingen memperoleh suatu jabatan kursi empuk di parlemen. Saya berharap kiamat segera datang untuk menghancurkan pemberi bantuan yang sedang bersandiwara...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun