Mohon tunggu...
Kavindra
Kavindra Mohon Tunggu... -

Nil volentibus arduum

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saatnya Sampah Menjadi Objek Pajak Bukan Objek Retribusi

23 Desember 2016   08:11 Diperbarui: 23 Desember 2016   08:48 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangsel- Beberapa hari ini jalanan perumahan sebelah yang sering saya lewati ketika berangkat dan pulang kerja, digenangi oleh aliran air yang meluap dari paritnya. Memang akhir-akhir ini setiap malam selalu turun hujan, yang saya heran adalah tumpukan bermacam-macam sampah yang berhasil diangkat oleh warga perumahan tersebut dari parit, yang menyebabkan parit tersumbat dan air meluap ke jalanan. Saya berpikir siapa yang tega membuang sampah-sampah ini ke aliran air sehingga menyusahkan warga yang tinggal di perumahan tersebut. Apakah mereka sudah kehabisan akal sehingga membuang sampah ke aliran air, ataukah mereka memang tidak dapat menemukan tempat pembuangan sampah yang ideal, ataukah mereka tidak mau repot mencari tempat-tempat pembuangan sampah.

Di linimasa twitter saya mengikuti postingan DKPP pemkot Tangsel. Beberapa postingan menunjukkan adanya warga yang membuang sampah sembarangan di pinggir jalan raya. Mereka menumpuk sampah begitu saja di samping jalan yang sering dilalui kendaraan bermotor. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya bau busuk dan tentu saja merugikan pengguna jalan dan masyarakat yang tinggal di sekitar timbunan sampah tersebut.

Menurut pengalaman saya ngekos di tangerang selatan selama lebih dari 5 tahun, terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat membuang sampah sembarangan:

  • Kurangnya sosialisasi mengenai pengelolaan sampah kepada masyarakat, bagaimana seharusnya sampah diperlakukan, dimana tempat pembuangan sampah terdekat yang bisa dituju, dan apa yang harus dilakukan jika terdapat sampah disekitar kita. Pemerintah daerah kurang member perhatian kepada masalah sampah.
  • Petugas pengambil sampah tidak ada di lingkungan sekitar tempat tinggal, terutama tempat-tempat padat penduduk yang hanya punya jalan dengan lebar tidak lebih dari setengah meter. Perlunya peran pemerintah daerah melalui pengurus RT dan RW dalam menyosialisasikan kebersihan lingkungan dan pengelolaan sampah.
  • Masyarakat tidak mampu membayar biaya pengangkutan sampah. Bagi masyarakat dengan penghasilan pas-pasan biaya untuk membayar retribusi sampah dan petugas pemungut sampah merupakan pengeluaran yang lumayan besar. Maka dari itu mereka berusaha membuang sendiri sampah rumah tangganya. Celakanya mereka tidak tahu harus kemana membuang sampah tersebut. Jadilah mereka membuang sampah di sungai, di lahan kosong, di pinggir jalan dengan maksud agar mudah diambil oleh truk pengangkut sampah yang nyatanya malah menyusahkan petugas pemungut sampah dari pemda. Jika mereka punya lahan kosong yang cukup luas, biasanya mereka akan membuat lubang pembuangan sampah sendiri. Kadang kala sampah dibakar agar tidak menumpuk. Sedih? Begitulah realitasnya, pemerintah daerah sepertinya menutup mata dengan kondisi ini.
  • Info mengenai tempat pembuangan sampah gratis bagi masyarakat tidak ada. Entah jika kita membuang sendiri sampah ke TPS (tempat penampungan sampah) tetap dikenakan biaya atau tidak. Seharusnya pemerintah daerah menyediakan bak penampungan sampah yang terpusat dalam suatu lokasi, sehingga masyarakat yang tidak mampu membayar jasa pemungut sampah dapat mengantarkan sendiri sampahnya ke TPS-TPS terdekat. Pertanyaan sinis kadang keluar, masak bayar sampah 10.000 perak perbulan saja tidak mampu? Cobalah anda masuk ke wilayah-wilayah susah, uang 10 ribu dapat dipakai oleh mereka untuk makan satu hari sekeluarga.

Bagaimana solusinya? Menurut saya pribadi pengelolaan sampah harusnya dengan mekanisme perpajakan daerah, Pajak Sampah. Namun, telah terlanjur dalam UU nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah (UU PDRD) telah ditentukan pajak-pajak  dan retribusi apa saja yang dapat dipungut oleh daerah.  Pembuat kebijakan perlu melakukan revisi atas UU PDRD tersebut agar pengelolaan sampah menjadi lebih baik. Sehingga dampak-dampak lanjutan dari buruknya pengelolaan sampah dapat dihindari.

Mengapa saya memikirkan mekanisme pajak sampah? Karena setiap orang yang hidup di dunia modern ini pasti menghasilkan sampah. Orang tidak bisa memilih apakah dia akan menghasilkan sampah atau tidak. Yang pasti, sampah hasil dari kegiatan hidupnya pasti akan muncul. Sebelumnya, mari kita bedah perbedaan definisi antara pajak dan retribusi dalam UU PDRD:

  • Pajak : Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  • Retribusi : pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Karakteristik

Pajak

Retribusi

1. Balas Jasa/prestasi
Tidak Secara Langsung dapat ditunjuk
Diperoleh secara langsung berdasarkan jas yang diperoleh.
2. Sifat Pemungutannya
Dapat Dipaksakan.
Dipaksakan pada pihak tertentu yang menerima jasa.
3. Objek Pungutan
Bersifat Umum yang ditentukan undang-undang.
Orang/Badan tertentu yang menggunakan jasa.
4. Tujuan Pemungutan
Untuk kesejahteraan umum.
Untuk kesejahteraan individu/badan yang menerima jasa.

        Diolah dari berbagai sumber.

Mengapa dana pengelolaan sampah dikategorikan sebagai retribusi sampah (pasal 110 UU PDRD)? Karena pengelolaan sampah digolongkan ke dalam Jasa Umum Pengelolaan Sampah/Kebersihan. Dari hal tersebut saya beranggapan bahwa pengelolaan sampah adalah bisnis jasa, dimana jika warga ingin mendapatkan pelayanan kebersihan/pemungutan sampah harus mengeluarkan sejumlah uang. Tidak memperhatikan apakah warga tersebut mampu atau tidak mampu untuk membayar jasa sampah.  

Bagi warga yang tidak mampu membayar jasa pengelolaan samapah maka ia harus mengelola sendiri sampahnya. Apa yang kemudian terjadi adalah warga-warga yang tidak mampu membakar sampahnya, membuangnya ke lokasi-lokasi yang dirasakan sepi, atau membuat lubang pembuangan sampah sendiri bagi yang memiliki kelebihan lahan. Akibatnya bisa dilihat hampir di sebagian besar daerah yang saya kunjungi, sampah dibuang di pinggir jalan, di tanah-tanah kosong, di sungai, dan tempat-tempat lain yang luput dari pengawasan petugas.

Saya dapat membayangkan jika sampah merupakan objek pajak daerah. Pemerintah dapat mengenakan tarif pajak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan pemungutan sampah oleh petugas daerah tidak memilah-milah antara warga yang bayar dan warga yang tidak bayar. PEtugas daerah akan berusaha semaksimal mungkin memungut sampah-sampah dari warga dan melakukan pembinaan tanpa pandang status ekonomi.

Kerja.. kerja…kerja…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun