Badai Daniel atau yang lebih dikenal dengan sebutan Topan Daniel merupakan suatu fenomena alam yang langka dan sangat jarang terjadi. Badai ini dapat dikategorikan sebagai badai Mediterania yang sangat kuat, yang membawa hujan dengan intensitas tinggi serta angin kencang yang menyebabkan peningkatan level gelombang laut (Al-Youm, 2023). Badai ini muncul pada September 2023 di wilayah Yunani, tepatnya di atas Laut Ionian, dan terus bergerak menuju selatan melintasi Laut Mediterania. Pergerakan badai ini mencapai wilayah Libya pada 10 September 2023.Â
Badai Daniel muncul akibat perairan Laut Mediterania yang sangat hangat karena musim panas ekstrem (Normand & Heggy, 2024). Ketika udara hangat dari laut naik ke atmosfer, maka daerah di sekitarnya akan bertekanan rendah dan menggantikan udara yang sudah ada di atmosfer sebelumnya, sehingga bentuknya mirip dengan siklon tropis. Meski disamakan dengan siklon tropis, Badai Daniel jauh lebih kuat sehingga para meteorolog menyebutnya sebagai medicine (Mediterranean Hurricane).
Hujan dengan intensitas tinggi yang dibawa oleh Badai Daniel menyebabkan banjir besar di wilayah Libya dan dua bendungan pecah, yang mengakibatkan air banjir menghancurkan infrastruktur yang ada. Sekitar 884.000 rumah rusak, 5.300 korban jiwa, dan ribuan masyarakat hilang.Â
Selain itu, sekitar 353.000 anak-anak terdampak, khususnya dari segi pendidikan, karena infrastruktur termasuk sekolah rusak diterjang banjir (Oduoye dkk., 2024). Dampak yang ditimbulkan oleh Badai Daniel sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat dan tentunya mengancam keselamatan mereka.
Pada masa seperti ini, pemerintah dituntut untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat guna memastikan keberlangsungan hidup mereka. Akan tetapi, pemerintah Libya dinilai kurang siap bahkan gagal dalam melindungi masyarakatnya dari bencana alam ini. Kegagalan pemerintah Libya dapat dilihat dari beberapa infrastruktur yang memiliki kualitas buruk bahkan sebelum Badai Daniel terjadi.Â
Sebagai contoh, dua bendungan yang rusak merupakan akibat dari sistem perawatan yang tidak terjaga. Selain bendungan yang tidak terawat, infrastruktur yang seharusnya berfungsi memberikan peringatan dini kepada masyarakat juga tidak berfungsi dengan baik. Semua kegagalan ini dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik yang terjadi di Libya. Rezim yang memerintah terlalu fokus membuat kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan politik dibanding keselamatan masyarakat dan keamanan lingkungan (Shirzai dkk., 2025). Sehingga ketika bencana alam datang, pemerintah Libya tidak mampu melindungi masyarakatnya karena buruknya upaya persiapan yang mereka miliki.
Kegagalan pemerintah Libya dalam mengantisipasi Badai Daniel yang berdampak pada masyarakatnya dapat diklasifikasikan sebagai isu keamanan non tradisional, secara spesifik adalah human security. Human security (keamanan manusia) adalah pendekatan yang melihat bagaimana suatu negara mengidentifikasi berbagai macam tantangan yang mungkin mengganggu keberlangsungan hidup masyarakatnya. Terdapat tiga dimensi utama dalam keamanan manusia, yakni free from want, free from fear, dan free to live in dignity (DSUAdmin, n.d.). Dengan memenuhi ketiga dimensi human security tersebut, maka suatu negara dapat dinilai telah berhasil menghadirkan keamanan manusia di negaranya.
Dalam konteks Badai Daniel, kegagalan pemerintah Libya menunjukkan bahwa human security belum terpenuhi, bahkan dapat dikatakan berada dalam kondisi krisis. Ketiga dimensi utama human security tidak dipenuhi sama sekali. Masyarakat merasakan ketakutan karena pemerintah Libya tidak memiliki upaya antisipasi atas kehadiran Badai Daniel di Libya. Sistem peringatan dini banjir dan lambatnya tindakan tanggap darurat menciptakan rasa takut yang terus-menerus di masyarakat (Qiu et al., 2023).Â
Selain ketakutan, masyarakat juga harus kehilangan sanak saudara, pemukiman, bahkan tempat mencari nafkah. Mereka kehilangan hampir seluruh sarana yang dimiliki, sehingga menciptakan human insecurity yang berkepanjangan. Sekitar 44.862 jiwa atau 8.907 keluarga harus mengungsi, dan 353.000 anak kehilangan sarana pendidikan (IOM, 2023). Masyarakat merasakan kebutuhan mereka tidak terpenuhi karena lambatnya tindakan dari pemerintah Libya. Mereka mengalami dampak yang sangat signifikan, baik dari bencana alam itu sendiri maupun dari kegagalan pemerintah dalam menghadapinya.
Dampak dari kegagalan pemerintah Libya terhadap keamanan manusia masyarakatnya terlihat dari banyaknya korban jiwa dan masyarakat yang mengungsi. Data mencatat korban jiwa mencapai 5.000 orang, ribuan masyarakat hilang, dan lebih dari 44.000 masyarakat harus mengungsi. Selain itu, masyarakat juga harus kehilangan rumah dan pekerjaan hanya dalam waktu sekejap.Â
Kesehatan juga terancam karena di kamp-kamp pengungsian, penyakit menular sangat mudah menyebar. Masyarakat juga terancam kelaparan akibat krisis pangan, sementara makanan yang disediakan di kamp pengungsian tidak mampu mencukupi seluruh pengungsi (IOM, 2023). Faktor seperti kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan pemerintah Libya tidak terlalu peduli dalam membuat kebijakan yang pro-rakyat, dan lebih fokus pada kepentingan politik golongan tertentu.