Mohon tunggu...
Politik

Indonesia dan Hak Asasi Manusia

15 November 2017   21:25 Diperbarui: 15 November 2017   22:06 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Sesuai dengan Pancasila sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,secara tidak langsung Indonesia sudah mengakui keberadaan Hak Asasi Manusia sejak awal negara ini berdiri, yang kemudian diperkuat lagi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UUD 1945 pasal 28 A-J. Hak Asasi Manusia diyakini sebagai hak-hak dasar yang melekat pada setiap diri manusia sejak dilahirkan dan bersifat universal. Oleh karena itu, hak-hak tersebut harus dilindungi, dihormati, dan tidak boleh dirampas oleh siapapun. Meski pengakuannya sudah jelas, tetapi sampai saat ini Hak Asasi Manusia di Indonesia belum sepenuhnya terjamin.

            Sampai saat ini, Indonesia masih sangat kesulitan menangani kasus PKI yang sudah terjadi tahun 1965 silam. Kejahatan genosida tersebut tergolong pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia mengingat banyaknya orang yang mati dan menjadi korban. Berawal dari Gerakan 30 September, yaitu penjemputan paksa jenderal-jenderal yang kemudian dibunuh oleh orang-orang yang menyebut dirinya Dewan Revolusi. 

Menanggapi hal ini, angkatan bersenjata menuduh bahwa dalang dibalik gerakan itu adalah PKI dan Soeharto selaku Panglima Tertinggi segera mengambil tindakan. Pemimpin-pemimpin yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya, sedangkan para aktivis ditangkap dan dihukum mati. Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.

            Rupanya tuduhan yang dimunculkan oleh angkatan darat menyulut kebencian terhadap PKI, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian tersebut. Soeharto mengambil langkah bahwa satu-satunya cara adalah menghapuskan PKI beserta ormas-ormasnya sampai ke akar-akarnya. Maka mulai Januari 1966 dilakukan pembersihan, atau lebih tepatnya pembantaian yang kemudian meluas ke seluruh Indonesia. 

Terjadi pembunuhan massal di mana-mana, dan jenazahnya dibuang ke sungai. Banyak orang tidak bersalah yang ikut terbunuh, hanya karena mendapat tuduhan PKI tanpa ada bukti-bukti yang jelas. Bahkan banyak orang Tionghoa yang juga menjadi korban dari pembantaian tersebut. Jutaan orang dipenjara dan jutaan orang mati terbunuh.

            Namun, peristiwa pembantaian itu tidak ditemukan kejelasannya. Tidak ada dokumen yang menyebutkan secara jelas kejadian tersebut. Bahkan jumlah orang yang menjadi korban saja tidak bisa ditentukan secara pasti, sehingga para pelaku tidak bisa diproses secara hukum. Kejahatan genosida ini merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia terberat, karena begitu banyak orang yang kehilangan hak-hak dasarnya. 

Orang tidak bisa dengan bebas mengemukakan pendapatnya, tidak bisa berkumpul, harta bendanya dijarah, dan dibunuh secara massal, sehingga orang sangat takut mendapat "cap PKI". Hingga saat ini, pemerintah masih berupaya untuk menguak bukti-bukti yang ada agar dapat mengetahui kebenaran dibalik peristiwa ini dan menyelesaikannya.

            Beberapa tahun kemudian, Indonesia kembali menguatkan dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan diresmikannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun ternyata, peraturan itu tidak cukup mengatasi segala kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, apalagi menjamin hak asasi setiap orang.

            Berikut ini salah satu contoh kasus. Selasa, 31 Oktober 2017 yang lalu di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, terjadi sebuah aksi main hakim sendiri terhadap seseorang hingga akhirnya meninggal dunia, dan korbannya ternyata salah sasaran. Paharuddin (54) meninggal dunia diamuk massa karena dituduh mencuri tas diteriaki maling. Padahal, korban hanya memindahkan tas untuk singgah sementara. Tapi ia justru dikira maling dan dianiaya hingga tewas. Tidak disangka lagi, ternyata korban adalah seorang mantan anggota TNI.

            Sampai saat ini, rupanya masih ada kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia orang lain. Parahnya, kasus seperti ini bukanlah yang pertama dan terakhir. Kejadian main hakim sendiri yang merenggut nyawa orang lain. Sebenarnya maksudnya baik, yakni membantu orang lain melawan tindak kejahatan, tapi seringkali mereka lupa kalau orang lain, pencuri sekalipun juga punya Hak Asasi Manusia dan tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang.

             Dari dua contoh kasus di atas, dapat dilihat perkembangan Hak Asasi Manusia dari zaman ke zaman. Sejak awal Indonesia berdiri hingga akhirnya menetapkan undang-undang, Hak Asasi Manusia memang sudah diakui dan dihormati keberadaannya, namun belum sepenuhnya terjamin. Masih ada orang yang belum menyadari adanya hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang dan harus dijaga. Oleh karena itu, sebaiknya kita menghormati dan mempertahankan, baik Hak Asasi Manusia orang lain maupun diri kita sendiri, agar Hak Asasi Manusia di Indonesia dapat ditegakkan dan nilai Pancasila diamalkan dengan baik, karena pengakuan saja tidaklah cukup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun