Sudah datangnya penyakit tidak bisa ditawar-tawar. Saat berobat pun tak bisa menawar. Lengkap sudah penderitaan orang susah yang mengalami sakit.
Tentu untuk sebuah kesembuhan tidak hanya cukup berdoa saja. Kecuali ada kemukjizatan.
#
Beberapa waktu yang lalu saya mengantar istri berobat ke dokter praktek terdekat dari rumah. Karena mengalami sakit di bagian perut yang sangat mengganggu.
Kebetulan saat itu kami pasien yang terakhir, sehingga setelah memeriksa istri atas keluhan yang dialami. Saya gunakan kesempatan untuk berkonsultasi cukup lama.
Setelah dirasa cukup dan dokter sudah memberikan resep sekaligus obatnya. Istri saya menanyakan biayanya. Awalnya dokter mengatakan, membayarnya di kasir saja. Tapi kemudian meminta langsung saja bayar, tak usah ke kasir lagi.
Dokter menyebutkan nilai rupiah yang harus dibayar. Lalu istri saya mencoba menawar. Tentu diluar perkiraan. Karena selama berobat ke dokter. Tidak ada istilah tawar menawar.
Betul saja. Sang dokter menjawab,"Aduh... Ibu, ini bukan pasar atau toko kelontongan. Tarifnya sudah sesuai hati nurani. Kalau tarifnya dikurang-kurangi, nanti sembuhnya dikurangi juga gimana?"
Dalam perjalanan pulang saya menegur istri,"Kok berobat pakai nawarin segala, Mi? Kamu gak dengar tadi dokternya ngomong apa? Kalau tarifnya dikurangi, sembuhnya juga dikurangi, mau?"
"Tadi itu cuma bercanda kok, Pi." istri memberi alasan.
Ada-ada saja, berobat ke dokter pakai menawar segala. Sama halnya ketika berobat ke rumah sakit. Tidak ada opsi tawar-menawar soal tarif dokter dan harga obat. Semua sudah dibandrol.
Tentu saja biaya berobat mahal, karena untuk menjadi dokter biaya pendidikannya juga mahal. Kalau tidak ada biaya, ya tidak usah berobat. Begitu seorang teman memberi masukan.
Teman ini melanjutkan, kalau ada modal buka rumah sakit dan sekolahan adalah bisnis yang bermasa depan cerah dan menguntungkan. Kenapa? Karena biarpun masalah pasti ada yang membutuhkan.