Katedrarajawen _Sebuah penghargaan memang penting, tetapi bukan yang utama.Â
Siapa yang tidak ingin menerima penghargaan atas sebuah pencapaiannya? Pasti ingin. Yang membedakan adalah cara menyikapi.Â
Senin, 1 Februari 2021 saya menerima kiriman sebuah plakat akrilik dari Pengelola Kompasiana sebagai penghargaan "Best  in Fiction 2020". Tentu saya terima dengan hati gembira dan membagikan kabar ini di kalangan terbatas.Â
Sebenarnya niat saya cukup sampai di sini. Namun seorang sahabat, Kompasianer Bli Ketut--I Ketut Suweca--memberikan masukan agar menulis tentang hal ini sebagai inspirasi. Apa salahnya?Â
Baik, hari ini saya berniat menulis sebagai wujud terima kasih pula kepada Pengelola Kompasiana yang telah memberikan apresiasi.Â
Penghargaan sebagai "Best in Fiction" jujur harus saya katakan sungguh di luar pikiran saya. Karena di Kompasiana boleh dibilang saya sudah termasuk karatan dan sudah kehilangan momen.Â
Pada awal penghargaan K-Awards 2011 saya sudah pernah masuk nomine dan berlanjut pada 2012. Hasilnya? Hanya bisa menghibur diri, belum waktunya jadi pemenang.Â
Jadi, pada 2020 masuk nomine lagi, di kategori fiksi pula maka sedikit kaget juga. Tetap harus menerima. Tidak mungkin protes atau demo. Bersyukur saja. Itupun saya tidak yakin bisa menang karena menyadari kapasitas diri.Â
Bila pada akhirnya penghargaan "Best in Fiction" saya terima, ini adalah buah dari kesabaran dan kesetiaan. Bukan karena kelebihan dan kehebatan saya dalam menulis fiksi. Ini kenyataan. Karena di Kompasiana masih banyak yang jauh punya kelebihan.Â
Seperti yang telah saya tulis di awal bahwa sebuah penghargaan memang penting karena dapat menjadi motivasi selain kebanggaan. Namun bukan yang utama. Apabila melakukan satu hal semata mengejar penghargaan maka bisa jadi akan kehilangan esensi atas apa yang dilakukan.Â
Sejatinya sebuah penghargaan mengingatkan diri untuk memberikan pembuktian bahwa ini memang layak untuk kita terima.Â
Penghargaan menjadi peringatan untuk diri agar bisa melakukan yang lebih baik lagi. Menjadi motivasi bahwa apa yang kita lakukan ada yang memperhatikan  dan menghargai. Tentu hal ini membuat kita antusias untuk setia dalam berkarya.Â
Khusus dalam hal menulis di Kompasiana, sesungguhnya ketika karya kita di unggah ada yang membaca, memberikan komentar atau memberi nilai sejatinya sudah merupakan  penghargaan. Apalagi kemudian ditambah karya kita menjadi Artikel Utama, Pilihan, Terpopuler, dan masuk kolom Nilai Tertinggi.Â
Sekali lagi, penghargaan yang berwujud semua itu memang penting, tetapi jangan sampai menjadi bagai doping. Karena bila penghargaan yang kita harap atau kejar tak menjadi kenyataan maka akan kehilangan gairah. Menyedihkan, bukan?Â
Bila penghargaan menjadi yang utama, pada waktunya kita akan kelelahan sendiri. Kecewa dan sakit hati. Timbul banyak pertanyaan di dalam diri.Â
Namun ketika sebuah penghargaan tidak menjadi pengharapan, ketika menjadi kenyataan maka itu menjadi keistimewaan. Yang ada jadi bertanya-tanya.Â
Pada kesempatan ini, walau waktu sudah berlalu atas penghargaan ini, terima kasih atas kesetiaan dan kesabaran diri selama ini, Pengelola Kompasiana, para sahabat kompasianer atas apresiasinya, dan tentu saja pada Tuhan yang memberikan kehidupan dan kesempatan.Â
Harapan saya pada diri sendiri, tentu agar dapat terus berkarya dalam sukacita, berharap ada kebaikan dan doa dalam setiap kata yang ada.Â
Terima kasih.Â