Memang boleh biksu berkhotbah di geraja? Jangan dianggap sebagai hal gila, karena Biksu Ajahn Bram telah melakunnya.
*
Bila 20 yang lalu ada biksu yang berada di gereja, bisa-bisa biksu tersebut segera diusir. Demikian dengan guyon Ajahn Brahm _seorang biksu hutan dari Thailand yang kini memiliki vihara besar di Australia_ menuliskan.
Hal ini berkenaan dengan keberadaan Ajahn Brahm yang diundang oleh seorang pastor, sahabat baiknya untuk datang dalam pertemuan para pemimpin agama di Gereja Norhsea, Australia.
Dimana dalam pertemuan itu hadir para pemimpin agama Katolik, Anglikan, dan Kristen.
Ajahn Brahm diundang dalam pertemuan para pemimpin agama itu untuk berbicara tentang kepemimpinan spiritual pada masa kini.
Bukankah peristiwa itu adalah hal yang indah dalam hidup kerjasama antar umat beragama dalam hal kebaikan dan keharmonisan?
Bila para pemimpin agamanya mau duduk bersama saling berbicara tentang kesepahaman bukannya saling bertentangan dan berdebat tentang perbedaan, bukankah hal itu menjadi contoh yang baik bagi umatnya?
Kerjasama antar umat beragama dalam kebaikan adalah cara yang indah untuk menghindari saling curiga, namun dapat menumbuhkan cinta dalam kebersamaan.
Membaca pengalaman Ajahn Brahm, jadi jadi bermimpi, bahwa suatu hari biksu pun bisa diundang ke masjid untuk berceramah.
Kiyai diundang untuk berdakwah di vihara atau pastor dan pendeta diundang berkhotbah di vihara.
Mengapa harus takut?
Kita memang tidak memungkiri bahwa setiap agama itu berbeda, tetapi intinya ada kesamaan, yaitu mengajarkan tentang cinta kasih pada sesama.
Jadi, setiap pemimpin agama, saat di manapun berada, bukankah bisa menyampaikan kebenaran universal ini?
Dengan kerjasama demikian, menurut saya, justru akan terjadi saling pengertian. Tidak memahami agama lain berdasarkan pemahaman sepihak.
Bayangkan, saat seorang biksu berkhotbah tentang ajaran Buddha dengan bahasa universal di gereja, saya yakin hal ini sedikit banyak dapat membuka pemikiran yang sempit tentang agama Buddha dikalangan umat Kristen selama ini. Karena yang terjadi selama ini tidak sedikit disampaikan bahwa ajaran Buddha itu kuno dan menyembah patung.
Begitu juga sebaliknya bila pastor atau pendeta diberikan kesempatan untuk menyampaikan langsung ajaran Yesus di hadapan umat Buddha di vihara dengan bahasa universal, maka akan tercipta pemahaman yang benar.
Selama ini yang terjadi adalah para pemimpin agama lebih berlomba-lomba menyampaikan agamanya dengan bahasa keangkuhan bahwa agamanya yang paling benar. Lalu dengan piciknya menyebarkan bahwa agama lain adalah tidak benar dan membawa-bawa nama Tuhan sebagai jaminan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran.
Tentu saja semua ini akan membekas di kepala dan hati umatnya.
Tak heran, agama yang sudah ada sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu yang bertujuan mulia untuk menciptakan kehidupan yang damai sampai hari belum tercapai sepenuhnya.
Mengapa?
Tidak lain, karena para pemimpin agamanya tidak menyampaikan kebenaran universal dalam ajaran agamanya. Tidak sedikit justru meracuni umatnya dengan kebenaran sepihak, sehingga hidup saling bermusuhan dengan agama lain.
Sayang memang!
Maaf, kalau tulisan ini bisa meracuni, lagipula saya masih umat yang tersesat!