Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada, Pandemi, dan Demokrasi Digital

13 Oktober 2020   12:34 Diperbarui: 13 Oktober 2020   12:39 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Istimewa

Pandemi Covid-19 di Indonesia masih menjadi momok mengkhawatirkan bagi hampir semua kalangan. 

Bukan saja mengkhawatirkan tetapi juga merugikan. Selama kurang lebih 7 bulan masa pandemi berlangsung, tidak sedikit masyarakat yang mengeluh krisis finansial lebih-lebih lagi krisis kesehatan. 

Namun tidak ada pilihan lain selain mengandalkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah terbaik dari yang terburuk yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan. 

Meskipun, banyak orang yang merasa justru makin merasa dirugikan oleh PSBB itu.
Segala aktifitas dipaksa menurunkan intensitasnya. 

Bahkan sebagian besar dipaksa menunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Sebut saja agenda olahraga sepak bola, bola basket, kejuaraan bulutangkis, dan masih banyak lagi olahraga lainnya.

Selain olahraga, agenda besar lainnya seperti resepesi pernikahan, konser musik, pentas seni dan lainnya yang selalu mengundang kerumunan orang terpaksa pula mengalami penundaan. 

Hal ini dilakukan atas dasar satu visi bersama yaitu memutus penularan covid-19 sesuai arahan presiden Jokowi yang menggariskan dengan tegas bahwa kesehatan adalah yang utama.

Seiring berjalannya waktu, beberapa kegiatan yang memungkinkan bisa berjalan tanpa kerumunan orang mulai dijalankan kembali. 

Perkantoran serta warung-warung makan mendapat giliran pertama dengan catatan operasional dan intensitas pegawainya hanya diijinkan beroprasi diangka 25% - 50% saja selebihnya dilakukan secara daring atau online.

Lantas bagaimana dengan agenda sebesar Pilkada Serentak 2020 ini? Sempat menjadi sorotan beberapa bulan terakhir. 

Rencana gelaran Pilkada 2020 ini dinilai banyak pihak dapat berpotensi menimbulkan kluster baru. 

Tetapi jika dikaji dengan pendekatan Demokrasi digital, maka kita akan menemukan titik terangnya dimana rangakaian agenda pilkada seperti kampanye, konser musik serta orasi calon sangat memungkinkan digelar secara online.

Era teknologi sangat relevan bagi demokrasi termasuk di dalamnya pilkada. Teknologi informasi sangat membantu jalanya demokrasi. 

Dengan teknologi informasi, sosialisasi visi-misi calon bisa dilakukan jarak jauh. Tak perlu lagi mengerahkan fisik untuk melakukan sosialisasi atau kampanye. 

Cukup melalui media sosial. Sejalan dengan itu, masyarakat tidak perlu mengerahkan energi untuk mendatangi sebuah lapangan kampanye. 

Cukup dengan media sosial sudah bisa berpartisipasi. Inilah gambaran nyata demokrasi digital. Demokrasi yang ditandai dengan partisipasi politik masyarakat melalui media sosial.

Van Dijk mendefenisikan demokrasi digital sebagai praktik demokrasi dalam pandangan apapun menggunakan media digital dalam komunikasi politik. 

Termasuk kampanye politik. Proses komunikasi politik dapat dilakukan melalui media digital dalam hal ini media sosial.

Kampanye melalui media sosial secara penuh memang akan sedikit mengejutkan publik. Tetapi hal ini bukanlah peristiwa baru tanpa perkiraan sebelumnya. Alvin Toffler dalam buku karyanya "Future Shock" pernah mengatakan bahwa banyak orang yang akan tersentak dan tersadarkan akan perkembangan teknologi yang sangat cepat. 

Kata "tersentak" diikuti dengan kata "tersadarkan" mengandung makna bahwa efek kejut kampanye online akan segera menyadarkan publik bahwa efektifitas kampanye tetap bisa terjaga meski dilakukan secara online. 

Secara bersamaan dapat menyadarkan publik bahwa pilkada serentak tetap bisa dijalankan dalam suasana pandemi.

Dari kaca mata demokrasi digital Van Dijk serta prediksi Alvin Toffler di atas, kita bisa menemukan angin segar dari keraguan publik terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2020. 

Dengan demokrasi digital, kerumunan orang selama proses kampanye dapat dicegah. Komitmen memutus mata rantai penularan Covid-19 tetap bisa diwujudkan. Akhirnya rencana Pilkada 2020 memungkinkan untuk tetap dijalankan.

Kampanye di media sosial memang rentan akan infiltrasi berita hoaks atau kampanye hitam. Namun dengan kecanggihan IT, dan aplikasi monitoring big data, hoaks bisa dideteksi.

Semoga dengan kampanye digital, Pilkada Serentak tahun 2020 bisa menjamin kesehatan dan keselamatan warga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun