Mohon tunggu...
Katalis Institute
Katalis Institute Mohon Tunggu... Goresan pena lebih tajam dari pisau belati

Belajar membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sunyi Humas, Bising Protes: Kegagalan Strategi Komunikasi Pemerintah

21 Mei 2025   15:14 Diperbarui: 21 Mei 2025   15:14 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aziz Muslim Haruna

Kisruh penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, yang berkepanjangan telah melampaui sekadar persoalan administratif. Ia menjelma menjadi simtom krisis komunikasi publik dan tata kelola pemerintahan yang lebih dalam. Gelombang unjuk rasa dan erosi kepercayaan publik menjadi konsekuensi langsung yang tak terhindarkan. Penanganan isu ini oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Sampang menunjukkan kegagalan signifikan dalam aspek hubungan masyarakat (PR) dan komunikasi krisis. Hal ini ditandai dengan narasi yang kerap berubah, justifikasi yang dirasa kurang memadai, serta pengabaian terhadap sentimen publik, yang pada akhirnya merongrong prinsip-prinsip demokrasi dan kepercayaan masyarakat. Situasi ini sejatinya menawarkan pelajaran kritis bagi pemerintah daerah lain di seluruh Indonesia.

Simbolisme dalam protes warga, seperti pembakaran "keranda mayat" , mengisyaratkan tingkat keputusasaan publik yang mendalam. Tindakan ini bukan sekadar luapan kemarahan, melainkan ekspresi simbolik yang sarat makna kultural, seolah-olah demokrasi atau aspirasi mereka telah "mati" atau dimatikan oleh kebijakan yang ada. Lebih jauh, fakta bahwa protes serupa telah terjadi setidaknya dalam kurun waktu dua tahun terakhir mengindikasikan adanya kegagalan kronis dari Pemda Sampang dalam mengatasi akar persoalan ketidakpuasan publik, bukan sekadar insiden tunggal komunikasi yang buruk. Ini menunjuk pada persoalan sistemik dalam cara Pemda Sampang berinteraksi dengan konstituennya terkait isu-isu krusial pemerintahan.

Suara Publik vs. Narasi Resmi: Jurang Komunikasi yang Menganga

Reaksi publik terhadap penundaan Pilkades di Sampang sangatlah vokal dan beragam. Demonstrasi terjadi di berbagai kantor pemerintahan, mulai dari Kantor Kecamatan Jrenggik , Kantor Bupati , hingga Kantor DPRD. Tuntutan massa jelas: "Tolak Penundaan Pilkades Sampang" dan "desak pilkades segera digelar". Aksi-aksi simbolik seperti pembakaran keranda mayat dan ban bekas menunjukkan tingkat frustrasi yang tinggi. Jumlah massa yang terlibat pun signifikan, dilaporkan mencapai "300 orang dari 14 desa" dalam satu aksi , dan "puluhan warga" dalam aksi lainnya.

Kontras dengan luapan emosi publik, respons resmi Pemda Sampang cenderung formal dan defensif. Pemda berulang kali membantah adanya motivasi politik di balik penundaan. Pernyataan komitmen untuk tetap melaksanakan Pilkades serentak disampaikan, namun selalu dibarengi dengan ketergantungan pada linimasa regulasi yang tidak jelas. Upaya sosialisasi regulasi yang disebut telah dilakukan tampaknya tidak efektif meredam gejolak, terbukti dengan terus berlanjutnya aksi protes.

Kesenjangan komunikasi ini sangat nyata: Pemda berbicara dalam bahasa formalitas dan justifikasi prosedural, sementara publik mengekspresikan kemarahan, rasa kehilangan hak, dan tuntutan akan tindakan konkret. Pernyataan Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Sampang, Akhmad Mohtadin, bahwa "Pemkab harus melibatkan tokoh masyarakat termasuk kades. Dengan begitu, masyarakat paham dan tidak terprovokasi dengan isu miring yang berpotensi menimbulkan polemik" , menggarisbawahi adanya kesadaran akan perlunya pelibatan yang lebih baik, namun hal ini tampaknya belum terwujud secara optimal.

Kegigihan dan sifat protes publik mengindikasikan bahwa upaya komunikasi Pemda, termasuk "sosialisasi regulasi" , telah gagal secara fundamental dalam meyakinkan atau menenangkan masyarakat. Ini bukan hanya soal kurangnya informasi, tetapi lebih kepada kurangnya kepercayaan terhadap informasi yang diberikan dan pihak yang menyampaikannya. Jurang komunikasi yang ada bersifat relasional dan berbasis kepercayaan, bukan sekadar informasional. Bantahan Pemda mengenai motif politik , meski merupakan taktik PR standar, menjadi semakin hampa dan kontraproduktif ketika tidak didukung oleh tindakan transparan dan penjelasan yang konsisten serta kredibel. Dalam iklim ketidakpercayaan, bantahan semacam itu justru dapat memicu spekulasi lebih lanjut. Imbauan dari Ketua AKD Sampang untuk melibatkan tokoh masyarakat juga menyiratkan bahwa komunikasi Pemda selama ini terlalu bersifat top-down dan mengabaikan peran penting para perantara yang dapat menjembatani komunikasi dengan komunitas luas. Pengabaian ini merupakan peluang yang terlewatkan untuk dialog dan de-eskalasi.

Dalih Yuridis di Persimpangan Jalan: Lemahnya Argumen Penundaan

Pemda Sampang kerap berlindung di balik argumen yuridis untuk menjustifikasi penundaan Pilkades. Salah satu argumen utama adalah bahwa UU No. 3/2024 mengharuskan penantian terbitnya PP atau Permendagri sebagai aturan pelaksana. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa UU tersebut telah sah berlaku sejak diundangkan, dan banyak ketentuannya yang tidak memerlukan PP untuk implementasi. Ketiadaan PP secara parsial tidak seharusnya menjadi larangan absolut untuk seluruh proses Pilkades.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun