CDC dan WHO mengimbau masyarakat dengan gangguan kekebalan tubuh tetap perlu untuk diberikan akses vaksinasi lengkap dan dosis ketiga yang disupervisi oleh dokter spesialis dan konsultan imunologi untuk memastikan apakah individu immunocompromised tersebut layak mendapatkan vaksin (ECDC, 2021).Â
Dengan demikian, semua individu yang memenuhi syarat dengan regimen dosis yang dianjurkan oleh WHO dan CDC harus tetap menjadi prioritas dalam program vaksinasi booster, bukannya dengan melakukan generalisasi distribusi vaksin booster kepada masyarakat umum secara sembarangan tanpa pertimbangan ilmiah yang tepat.
Penolakan terhadap vaksin booster telah dikeluarkan oleh WHO sebab hal tersebut dipandang tidak etis untuk dilakukan ketika masih banyak negara yang masih memiliki akses terbatas terhadap vaksin COVID-19 (Vogel and Duong, 2021). Meskipun terjadi penolakan, Kemenkes RI  menyusun rencana untuk menyalurkan alokasi booster menuju masyarakat Indonesia secara general di tahun 2022 mendatang.Â
Alokasi booster tersebut akan diberikan kepada 93,7 juta masyarakat Indonesia secara berbayar. Rencana booster berbayar tersebut menjadi kontroversi sebab para ahli epidemiologi memandang bahwa realisasi booster pantas diterapkan jika cakupan vaksinasi di Indonesia secara keseluruhan sudah melampaui ambang batas 60% sebab masih banyak masyarakat daerah di Indonesia belum terjangkau oleh akses vaksinasi (Saptoyo, 2021).Â
Sedangkan, kondisi di Indonesia per 29 September 2021, cakupan vaksinasi dosis lengkap di Indonesia masih 24.21% dari total sasaran yang sudah ditentukan. Berkaca dari situasi tersebut, tentunya sudah seharusnya pemerintah lebih mempertimbangkan kembali rencana vaksin booster berbayar sebab kesenjangan akses distribusi vaksin dosis pertama dan kedua saja masih terjadi di Indonesia.Â
Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan permasalahan kesenjangan distribusi vaksin antar daerah satu dengan daerah lainnya untuk memaksimalkan percepatan laju vaksinasi ke masyarakat Indonesia yang belum melakukan vaksinasi dibandingkan dengan menyusun skenario booster berbayar yang belum relevan juga dengan kondisi Indonesia terkini.
Selain itu, mekanisme pendistribusian booster secara berbayar juga sangat berisiko dalam menciptakan kemungkinan kesenjangan antara masyarakat ekonomi ke bawah dan ekonomi ke atas sebab akses vaksin booster berbayar dikhawatirkan tetap tidak terdistribusi merata ke seluruh lapisan masyarakat mengingat masyarakat dengan ekonomi ke atas jauh lebih memiliki privilege (lebih mampu) untuk membayar vaksinasi tersebut dibandingkan dengan masyarakat ekonomi ke bawah.Â
Privilege masyarakat menengah ke atas ini perlu lebih dikontrol dengan mempertimbangkan kembali aturan teknis pelaksanaan vaksin booster berbayar agar masyarakat menengah ke bawah tidak terabaikan haknya dalam mendapatkan booster. Menanggapi kemungkinan kesenjangan tersebut, Kemenkes RI memang sudah merancang skenario untuk menanggung biaya vaksin booster yang akan diberikan kepada masyarakat penerima bantuan iuran.Â
Tetapi rencana tersebut tetap saja memerlukan pertimbangan dan analisis yang lebih lanjut agar tujuan dalam menciptakan kekebalan populasi menjadi tidak gagal hanya karena ketimpangan akses vaksinasi antara masyarakat mampu dengan tidak mampu yang dapat saja terjadi melalui wacana booster berbayar yang tidak dikawal secara komprehensif.
Antara Booster dan Masyarakat
Melalui semua hal yang sudah direkomendasikan, diharapkan vaksin booster berbayar dan pengalokasiannya kepada masyarakat umum perlu dikaji kembali agar sesuai dengan bukti ilmiah dan kondisi Indonesia terkini. Kebijakan yang ada harus dapat mengakomodasi rakyat yang rentan bukan hanya rakyat yang dekat dengan pemangku kebijakan. Evaluasi serta monitoring perlu dilakukan dan didengar oleh pengada booster agar pengadaannya dapat dilakukan secara maksimal dan sesuai dengan tujuan pengadaannya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!