Saat sedang belajar menulis, Ayahku selalu bilang, "jika kamu membuat kesalahan kata dalam tulisan yang kamu buat, lalu kamu tidak bisa menghapusnya--maka ubah kalimat selanjutnya dengan menyesuaikan kata yang tadinya adalah kesalahan dengan menyesuaikan kebutuhan." Itu adalah sebuah nasihat dari Ayah, yang melekat bagiku hingga saat ini. Â
Secara harfiah mungkin hanya sekedar improvisasi kata. Namun ketika mengartikannya secara mendalam, maksudnya adalah mengalirkan alur secara natural.
Sebetulnya ia mengatakan itu karena dulu pada zamannya, ayah mengetik naskah itu menggunakan mesin tik yang tidak ada opsi menghapus kata, lantaran tinta yang terlanjur melekat di atas kertas.
Namun demikian, aku mengaplikasikannya dalam kehidupanku sehari-hari, dan itu berdampak positif jika dilakukan dengan niat baik. Merubah pandangan sesuai kebutuhan, dengan modal kesadaran diri dan penerimaan.
Ah iya. Satu lagi pengalaman hidupnya yang menjadi teladan bagiku, yaitu ketika ia tak pernah membawa sepeserpun uang saat bepergian. Hingga membuatku bertanya, "bagaimana cara kita bisa pergi jalan-jalan tanpa sepeserpun uang?"
Ia pun menjawab dengan santai, "Gadisku, yang akan kita beli, tidak bisa dibayar dengan uang. Karena uang tidak bisa membeli segalanya. Kamu akan lihat nanti," jawabnya dengan senyuman.
Awalnya aku merasa was-was dan gelisah. Namun ia selalu berjalan dengan langkah ringan, senyuman dan sapaan. Tak satupun tak mengenalnya. Sepanjang perjalanan semua orang memberi salam padanya. Lelaki nyentrik dengan tato Garuda di dadanya, dan setelan serampangan itu begitu hangat dicintai.
Kemana pun kami pergi, semua orang menawarkan sesuatu. Kemana pun kami melangkah, semua kendaraan menawarkan tumpangan. Namun ia tak pernah sembarangan menerima kebaikan. Meski begitu, bahkan setelah banyak menolak tawaran kebaikan, setiap pulang ke rumah--tanganku selalu penuh oleh sesuatu. Tentu saja itu kudapat setelah Ayah menerimanya dengan meluangkan waktu, tenaga ataupun jasanya.
Lantas kembali aku bertanya, "mengapa semua orang baik padanya?"
Namun Ayah tak menjawabnya dengan kata-kata. Sejak saat itu ia selalu mengajakku kemanapun. Menjenguk dan menemani semua orang yang dikenalnya saat terbaring sakit, membantu siapapun yang ia lihat sedang kesulitan tanpa tapi, dan menebar senyum serta sikap ramah di segala situasi. Sederhana namun berat  dilakukan. Karena hakikatnya, yang menjadi tantangan dalam melakukannya adalah diri sendiri, yaitu--rasa malas, dan ego.
Tak jarang aku melihatnya direndahkan. Contohnya pada suatu malam saat aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu Ayah mengajakku menjenguk seorang kenalan yang di rawat di Rumah sakit. Aku begitu kesal ketika ia tidak diizinkan masuk oleh kerabat yang tengah menemani sang pasien. Padahal kami berjalan cukup jauh untuk sampai ke tempat itu. Namun ia melihat Ayah dengan tatapan hina dan merendahkan. Tentu saja itu wajar, jika aku memikirkannya sekarang. Mungkin karena penampilan Ayah yang lusuh, bertato dan penuh luka bakar bekas menghapus tato di tangannya. Semua orang bisa waspada kecuali aku. Apalagi ruangan tempatnya di rawat adalah kawasan elit kelas satu VIV.
Aku pun marah hingga berkata, "apa dia begitu karena merasa dia kaya, dan kita miskin?" tanyaku sarkas.
Namun, kalian tahu apa yang dilakukannya? Ia hanya tersenyum dan mengangguk lalu mengajakku pergi. Ayah menyuruhku duduk di kursi taman, lalu ia berdiri di koridor Rumah Sakit. Ia menunjukkan arah kepada orang-orang yang hendak menjenguk kenalannya yang sakit itu. Hingga kerabat yang melarangnya tadi pun merasa malu dan mempersilahkan kami masuk.
Ayah lalu bergumam, "Orang yang paling kaya adalah yang menerima apa adanya."
Terus terang itu hanya sedikit kisah inspirasi yang dilakukan Ayahku semasa hidup. Namun dari semua nilai hidup yang ia ajarkan padaku, hanya sedikit yang bisa kutiru.
Secara keseluruhan ia mengajariku untuk menahan diri dari nafsu dan ego. Karena sejatinya orang yang paling kuat adalah orang yang bisa melawan hawa nafsunya sendiri.
Lalu orang yang paling baik adalah orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, dan orang yang sibuk untuk terus memperbaiki diri. Tidak peduli apapun masa lalu seseorang, sekelam apapun kehidupannya sebelumnya, kita tidak bisa menilai orang sembarangan. Karena masa depan hanya Tuhan yang tahu.
Ayahku telah membuktikannya. Seorang mantan pecandu narkoba dengan tato dan bekas tindikan di tubuhnya, menjadi muadzin bersuara merdu, dan ahli ibadah yang dirindukan para jemaahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI