Sekitar 300.000 tahun lalu, Homo sapiens muncul di sabana Afrika. Namun titik balik terjadi di era Holosen, ketika iklim stabil dan manusia mulai menanam. Di Flores, tubuh Ine Mbu dikuburkan agar padi tumbuh dari pusarnya, sebuah mitos yang merekonsiliasi manusia dengan tanah. Di dunia, pertanian melahirkan kota dan negara, tetapi juga konflik dan ketimpangan. Tanah menjadi ibu, tetapi juga ladang perebutan.
Lalu, sekitar tahun 1950, kita menciptakan mesin yang bisa berpikir. Alan Turing membuka pintu ke dunia kode, dan sejak itu, kita memasuki era digital. Aktivitas manusia menjadi kekuatan geologis: mengubah iklim, membangun jaringan, dan menciptakan realitas baru. Era ini disebut Antroposen---zaman di mana manusia mengubah Bumi lebih dari gunung dan sungai. Kode adalah bahasa baru, tapi juga cermin dari jiwa lama. Di Flores, Dhawe dan Dhengi membaca suara bambu. Kini kita membaca sinyal dan algoritma. Tapi apakah kita masih mendengar suara alam?
Berikut adalah linimasa evolusi Bumi dan manusia, dari mikroba purba hingga Homo digitalis:
Penutup: Tiga Nyala, Satu Sungai
Api memberi kita waktu, pertanian memberi kita struktur, dan kode memberi kita jaringan. Tiga revolusi ini, yang mengubah cara kita hidup, berpikir, dan berinteraksi, adalah aliran waktu yang hidup di Flores. Dari Cekungan So'a, tempat hobbit Flores hidup dalam isolasi ekstrem, hingga ke dataran Mbay, di mana legenda Dhawe-Dhengi dan Penu-Wegu tetap dihidupkan, juga legenda Ine Mbu di Ngalu Ndori dilestarikan, Flores adalah salah satu laboratorium alami. Ahli paleoantropologi Jepang, Yousuke Kaifu, menyatakan, "Mata Menge adalah laboratorium alam yang memperlihatkan bagaimana evolusi manusia bisa terjadi dalam isolasi dan tekanan lingkungan ekstrem." Sementara itu, peneliti Pusat Survei Geologi, Iwan Kurniawan, menegaskan, "Flores bukan hanya tempat penemuan fosil, tapi tempat di mana tubuh, waktu, dan budaya bertemu dalam satu narasi."
Sungai Ae Sesa, yang mengalir dari hulu ke hilir, menjadi metafora penutup yang sempurna. Ia membawa pesan bahwa teknologi harus berpihak pada manusia, pada alam, dan pada cerita yang tak boleh putus. Lalu, bagaimana kita memastikan narasi ini tidak terputus di era baru? Kapal VOC merompak rempah dengan meriam. Kini, raksasa data menggunakan jaringan internet global---seperti kabel bawah laut---untuk merompak data, 'rempah' berharga di era digital. Siapa pemilik server yang menyedot jejak digital petani Nagekeo? Mengapa sebagian besar pasar e-commerce Indonesia dikuasai platform asing? Di episode selanjutnya, Episode 3: Kolonialisme Digital, kita akan menelusuri pola yang sama: dari VOC ke raksasa data---perebutan sumber daya abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI