Mohon tunggu...
Kasimirus Dhoy
Kasimirus Dhoy Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara Kabupaten Nagekeo

Pelayan Publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Zoze Api, Mae Padi, Kode Kita: Trilogi Jiwa di Tepian Ae Sesa

14 Agustus 2025   20:42 Diperbarui: 14 Agustus 2025   22:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Linimasa evolusi bumi dan manusia yang diolah dari berbagai sumber.

Masih dari dataran Mbay, Flores Tengah, hilir sungai Ae Sesa, dikisahkan, setelah peristiwa air bah, Dhawe dan Dhengi menanam kembali tanah dengan abu dapur dan arang. Tindakan ini mencerminkan sebuah peristiwa global yang mengubah segalanya: Revolusi Pertanian. Sekitar 12.000 tahun lalu, setelah periode Holosen yang stabil, Homo sapiens membuat sebuah "kesepakatan" yang mengikat mereka pada tanah. Kita berhenti menjadi pemburu-pengumpul nomaden dan mulai menetap, menanam benih, dan memanennya.

Secara global, revolusi pertanian adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, ia menciptakan surplus makanan yang memungkinkan populasi meledak, melahirkan kampung, desa, kota, dan akhirnya negara. Ini adalah fondasi bagi peradaban dan kemajuan. Namun, sejarawan Yuval Noah Harari, dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind, menyebutnya "penipuan terbesar dalam sejarah." Pertanian membawa beban baru yang tak berkesudahan: kerja keras tanpa henti, monokultur yang rapuh, dan yang paling signifikan, ketimpangan sosial dan konflik atas kepemilikan tanah. Kita menjadi terikat pada ladang, dan sistem hierarki sosial pun tumbuh di atasnya.

Di Flores, Revolusi Pertanian memiliki narasi yang lebih spiritual. Legenda Ine Mbu, Dewi Padi, mengisahkan tubuh perempuan suci yang dikuburkan agar padi tumbuh dari pusarnya, jagung dari rambutnya, dan umbi dari tangan serta kakinya. Menanam padi bagi mereka bukan sekadar urusan perut, tapi ritual suci untuk merawat tubuh leluhur yang telah menyatu dengan tanah. Padi bukan sekadar makanan, tapi warisan tubuh dan jiwa atau mae. Ini adalah kearifan lokal yang mengingatkan kita bahwa pertanian bukanlah tentang penguasaan, melainkan tentang janji kepada alam.

Kisah Penu dan Wegu lebih jauh lagi memperkaya narasi ini. Penu, seorang wanita yang menantang tatanan sosial di Takatunga, hulu sungai Ae Sesa, diusir dan bertransformasi menjadi ikan---simbol "disorder." Namun, melalui penderitaan, Penu memperoleh kekuatan supranatural yang kemudian ia gunakan untuk membantu Wegu, seorang pria miskin. Dengan bimbingan Penu, Wegu berhasil menjadi petani, peternak, dan pembangun rumah adat di suku Dhawe, salah satu komunitas besar yang menguasai dataran Mbay. Doa-doa dalam ritus adat Dhawe yang mengakui hubungan dengan leluhur Penu di hulu sungai Ae Sesa, mencerminkan fiksi kolektif yang mengikat masyarakat melalui narasi kesuburan dan keteraturan sosial. Di sini, pertanian adalah ritual yang menjaga harmoni antara manusia dan alam, sekaligus fondasi bagi tatanan sosial yang berkeadilan. Saya, sebagai Xennial yang menyaksikan pergeseran dari cangkul tradisional ke mekanisasi pertanian yang sedang berkembang menuju pertanian presisi berbasis sensor dan drone, melihat paralel yang mencolok: pertanian mengikat kita pada tanah, seperti kode akan mengikat kita pada jaringan global. Pertanyaannya, apakah kita masih menanam dengan rasa hormat?

Revolusi Kode: Simbol, Sistem, dan Jaringan

Revolusi ketiga, yang kita alami saat ini, adalah revolusi kode. Revolusi ini tidak dimulai dari layar komputer, melainkan dari bahasa tulisan dan matematika yang memungkinkan kita mencatat dan mengatur sistem sosial sekitar 5.000 tahun yang lalu. Namun, loncatan besarnya terjadi pada abad ke-20, ketika ilmuwan Inggris Alan Turing memperkenalkan konsep mesin universal---dasar dari komputasi modern. Sejak tahun 1950-an, kita memasuki era digital, di mana algoritma dan data mengatur hampir semua aspek kehidupan.

Kode adalah bahasa baru yang tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga menjalankan perintah dan menciptakan realitas virtual. Ini adalah fiksi kolektif paling kuat yang pernah kita ciptakan, sebuah jaringan yang menghubungkan miliaran manusia, mesin, dan data dalam satu sistem global yang kompleks. Sejarawan seperti Harari berpendapat bahwa revolusi digital berpotensi mengubah inti dari apa artinya menjadi manusia. Kode memungkinkan apa yang disebut "dataisme," sebuah ideologi yang menganggap alam semesta sebagai aliran data, dan nilai setiap entitas ditentukan oleh seberapa besar kontribusinya pada aliran data tersebut.

Revolusi ini menjanjikan kemungkinan tak terbatas: otomasi yang membebaskan manusia dari kerja kasar, konektivitas global yang menghubungkan seluruh umat manusia, dan potensi untuk memanipulasi kehidupan itu sendiri. Namun, Harari mengingatkan kita, setiap revolusi besar membawa risiko. Kode membawa potensi pengawasan total, manipulasi informasi, dan pertanyaan mendasar tentang kedaulatan individu ketika kecerdasan buatan mulai mengambil alih tugas-tugas kognitif kita. Pertumbuhan raksasa data, yang kini menggunakan infrastruktur internet---seperti kabel bawah laut---untuk menyedot jejak digital kita, adalah wujud nyata dari revolusi ini.

Di Nagekeo, saya menyaksikan pergeseran dari era mesin ketik ke layar sentuh, dari cerita lisan masyarakat adat ke algoritma AI. Di tempat di mana prinsip Ulu-Eko mengajarkan harmoni antara hulu dan hilir, kode menciptakan fiksi kolektif baru: jaringan global yang menghubungkan, namun berisiko mengikis budaya dan kearifan lokal. Visi Indonesia Digital 2045, dengan pembangunan AI Center of Excellence, mencerminkan ambisi nasional untuk menguasai revolusi ini. Namun, pertanyaannya tetap sama: Dulu, Dhawe dan Dhengi membaca suara bambu. Kini, kita membaca sinyal dan algoritma. Tapi apakah kita masih mendengar suara alam?

Narasi Linimasa Evolusi: Dari Mikroba ke Makna

Sebelum api dinyalakan, sebelum padi ditanam, sebelum kode ditulis, Bumi telah menyimpan cerita miliaran tahun lamanya. Di era Arkaean, sekitar 4,5 miliar tahun lalu, mikroba pertama muncul di lautan purba, menyiapkan panggung untuk kehidupan kompleks. Panas dan transformasi sudah menjadi bagian dari narasi Bumi. Kelak, nyala itu akan lahir dari gesekan bambu dan napas Dhawe dan Dhengi di Bukit Ratu Api, memberi kita waktu luang dan ruang untuk berpikir, membentuk narasi pertama yang mengikat kita sebagai sebuah komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun