Awal aku bergabung dalam kegiatan ini berawal dari sebuah kehilangan. Saat itu, ibu mertua yang sangat aku hormati, Â berpulang ke rahmatullah. Di desaku dan sekitarnya, ada satu kegiatan yang sangat bermakna: ketika ada anggota persatuan yang mengalami kemalangan, baik dirinya maupun keluarganya, para anggota lain akan mengantarkan serantang makanan berisi nasi, lauk pauk, dan sedikit uang.
Kegiatan ini tidak berlaku untuk semua warga, melainkan hanya bagi mereka yang tergabung dalam persatuan. Tradisi saling peduli antar anggota inilah yang disebut Serantang Peduli.
Serantang itu bukan sekadar wadah makanan. Ia menjadi tanda ukhuwah dan rasa simpati yang lahir dari keikhlasan. Saat rumah diliputi duka, sering kali tuan rumah tak lagi sempat memikirkan apa pun, termasuk urusan makan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi tamu yang datang melayat. Di sinilah makna serantang itu terasa. Ia hadir bukan hanya sebagai santapan, tetapi juga sebagai wujud perhatian dan doa agar keluarga yang berduka diberi ketabahan.
Kegiatan Serantang Peduli ini diikuti oleh ibu-ibu dari beberapa desa. Jumlah anggotanya memang belum banyak, sekitar dua puluh lima orang. Namun semangatnya melintasi batas desa dan waktu. Setiap kali ada anggota persatuan maupun anggota keluarganya yang berpulang, para anggota lain akan datang mengantar serantang makanan dan memberikan uang sepuluh ribu rupiah. Tak ada paksaan, semuanya dilakukan dengan niat tulus. Karena yang kami bawa bukan sekadar rantang, tapi rasa peduli yang tumbuh dari hati.
Aku mengenal kegiatan ini justru lewat almarhumah ibu mertuaku. Setahun sebelum beliau meninggal, beliau aktif mengikuti kegiatan Serantang Peduli. Saat beliau wafat, aku merasakan sendiri betapa berarti bantuan itu. Hari-hari pertama setelah duka begitu berat, tapi setiap kali ibu-ibu datang mengantar serantang, terasa ada pelukan lembut yang tak terucap: "Kami di sini bersamamu."
Aku teringat pengalaman lain ketika menghadiri pemakaman di luar Aceh. Seusai pemakaman, rumah duka mendadak sunyi. Tak banyak yang datang, tak ada yang menemani. Perut mulai lapar, tapi hati sungkan untuk meminta. Saat itulah aku semakin memahami betapa berharganya tradisi seperti Serantang Peduli di daerah kami. Di Aceh, rumah duka tak pernah sepi. Doa-doa dan samadiah terus mengalir, bukan hanya sebagai ritual, tapi juga bentuk kasih dan kepedulian yang nyata.
Sejak itu aku bertekad untuk meneruskan langkah ibu mertuaku, bukan karena kewajiban, tapi karena rasa syukur. Aku ingin meneruskan tradisi baik yang telah beliau tanamkan: kepedulian yang sederhana namun tulus. Kini aku menjadi bagian dari kelompok yang sama, menggantikan beliau, menyambung niat baik agar tak berhenti di satu generasi.
Kami punya grup WhatsApp bernama " Grup Bawa Rantang". Suatu kali aku mengusulkan nama baru: "Serantang Peduli". Bukan karena ingin mengganti tradisi, tapi karena ingin menegaskan maknanya , bahwa rantang itu bukan sekadar benda, melainkan wujud kepedulian. Setiap nasi, setiap lauk, setiap lembar sepuluh ribu rupiah yang kami berikan, adalah bentuk cinta kecil untuk sesama yang sedang diuji kehilangan.
Tradisi ini mungkin terlihat sederhana bagi orang lain. Tapi bagi kami, Serantang Peduli adalah cermin kekuatan perempuan desa --- kekuatan yang lahir dari empati, bukan kekuasaan. Kami tidak menunggu bantuan datang dari luar. Kami bergerak dengan tangan sendiri, hati sendiri, dan langkah yang bersama. Kami hadir di tengah duka dengan cara paling sederhana namun bermakna: membawa makanan, menyapa, dan mendoakan.
Di tengah dunia yang semakin sibuk dan individualis, kegiatan seperti ini menjadi oase. Ia mengingatkan kita bahwa gotong royong tak selalu harus besar dan ramai. Kadang, ia hadir dalam bentuk sekotak nasi yang diantarkan dengan senyum dan doa.