Aceh dikenal sebagai negeri seribu warung kopi. Di sini, warung kopi tidak sekadar tempat minum dan nongkrong. Ia adalah ruang sosial hidup, tempat berbagai aktivitas masyarakat berlangsung, dari diskusi ringan hingga merancang masa depan desa. Bahkan Teuku Umar, pahlawan besar Aceh, konon pernah berkata:
"Singoh Beungoh geutanyoe jep kupi di Keude Meulaboh atawa ulon akan syahid."
(Besok Pagi kita minum kopi di Keude Meulaboh, atau saya sudah syahid.)
Hari ini, warisan budaya itu masih terasa. Warung-warung kopi di Aceh terus berinovasi, menyuguhkan minuman khas yang tidak hanya nikmat, tetapi juga menyimpan manfaat kesehatan. Kopi menjadi energi, dan warung kopi menjadi tempat menyusun strategi.
Pagi ini saya menghadiri kegiatan posyandu balita dan ibu hamil di salah satu desa dampingan di Manyak Payed. Sebuah agenda penting yang rutin dijalankan oleh kader dan bidan desa. Kami, para Pendamping Lokal Desa, hadir bukan sekadar melihat-lihat. Kami datang untuk memastikan bahwa Dana desa yang dianggarkan untuk makanan tambahan benar-benar sampai ke tangan yang tepat, dengan kualitas yang sesuai kebutuhan gizi.
Karena kegiatan seperti ini bukan hanya tentang laporan dan foto dokumentasi. Tapi tentang masa depan anak-anak desa, tentang upaya bersama untuk melawan stunting dan tentang menjalankan amanah perencanaan desa yang telah disusun secara partisipatif.
Usai kegiatan posyandu, tubuh rasanya mulai terasa letih, flu yang sejak kemarin belum reda, mulai terasa lagi. Saya memutuskan singgah sebentar di Din Kupi, salah satu warung kopi langganan yang terkenal dengan wedang jahe racikan khasnya. Di sinilah saya duduk saat ini, menyesap hangatnya jahe, serai, kayu manis, lemon, dan gula aren. Minuman yang sederhana, tapi manjur untuk memulihkan tenaga.
Di atas meja, laptop terbuka. Saya mulai menyusun laporan kegiatan pagi tadi. Menyisipkan dokumentasi, mencatat realisasi, dan memastikan semua sesuai dengan target kerja dan tujuan SDGs Desa, khususnya pada aspek kesehatan ibu dan anak.
Menariknya, suasana Din Kupi tidak terlalu berbeda dari posyandu tadi pagi. Di sini, para pengunjung bercengkerama, berdiskusi ringan, bahkan sesekali membahas pembangunan desa. Warung kopi dan posyandu, ternyata tidak sejauh yang kita kira. Keduanya adalah ruang tumbuhnya kesadaran kolektif. Di posyandu, gizi diramu untuk masa depan anak. Di warung kopi, semangat diracik untuk membangun desa.
Dan di antaranya, kami, para pendamping desa, bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Dari meja kader ke meja kopi. Dari data gizi ke file laporan. Dari makanan tambahan ke minuman tradisional.
Semua ini bukan tentang pekerjaan semata, tetapi tentang merawat desa dari sisi yang paling dasar: kesehatan, kebersamaan, dan keberlanjutan. Maka hari ini, saya ingin menyebut Din Kupi bukan sekadar warung kopi. Ia adalah ruang pulih, ruang tulis, dan ruang refleksi. Tempat di mana secangkir jahe hangat menyambung semangat pagi dari posyandu.