Â
"Sawah Haus, Pompa Berbunyi, Petani Menari: Cerita dari Kampung Seuneubok Pidie"
Oleh: Kasiani, S.ST
Setiap kampung punya jalannya sendiri menuju sejahtera. Ada yang berjuang lewat tambak, ada yang bertahan dengan kebun sawit, ada juga yang tetap setia menggantungkan hidup pada sepetak sawah. Seuneubok Pidie, kampung kecil di Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, memilih jalan sederhana: mencari air untuk sawah yang haus.
Tulisan ini saya rangkai bukan sekadar laporan, tetapi catatan lapangan seorang Pendamping Lokal Desa. Barangkali bisa menjadi cermin bagi kampung-kampung lain yang sedang berdebat mau digunakan untuk apa Dana Desanya. Karena bagi saya, kisah air ini bukan hanya tentang pompa, tetapi juga tentang harapan, gotong royong, dan kopi pahit yang sering diseruput para petani.
Kampung Seuneubok Pidie tidak luas, hanya 300 hektare. Separuhnya, sekitar 150 hektare adalah sawah. Penduduknya pun tak sampai seribu, hanya 575 jiwa. Dari 167 kepala keluarga, 111 di antaranya hidup dari sawah. Jadi, bisa dibayangkan kalau sawah kering, maka dapur pun ikut dingin.
Sudah puluhan tahun, petani di Seuneubok Pidie hanya bisa menanam padi sekali setahun. Musim hujan ditunggu-tunggu bagai tamu penting: kadang datang tepat waktu, kadang membuat para petani gelisah menunggu di warung kopi.
Padahal, di pinggir kampung, mengalir anak sungai. Tapi airnya punya tabiat berubah-ubah, seperti hati yang juga kadang berubah-ubah. Kadang tawar, kadang asin. Ketika pasang besar, air laut merambat ke sungai. Kalau disedot sembarangan, padi bisa mati. Inilah yang membuat warga sempat ragu ketika mendengar rencana pompanisasi.
Saya masih ingat, di Musrenbangdes RPJMDes 2019, para petani mengusulkan pengadaan pompa air. Banyak yang angkat tangan, angkat alis, bahkan angkat bahu.
"Teu jeut ta pasang mesin? Meu nyee ie masen, matee pade soe tanggong?" (Berani kita pasang mesin? Kalau air asin, padi mati, siapa tanggung jawab?) begitu kata Pak Lukman, salah satu petani senior.
Saya hanya tersenyum. Namanya juga ikhtiar. Kalau tidak dicoba, mana tahu berhasil atau tidak? Tapi saya juga paham, waktu itu belum memungkinkan. Datok Penghulu, sebutan kepala desa di sini baru saja dilantik, lalu COVID-19 datang. Banyak rencana desa terpaksa ditunda. Kami sibuk urus masker, pos COVID, penyemprotan, hand sanitizer. Pompa? Tunggu dulu.
Lima tahun berselang, suasana berubah. Dana Desa Tahun Anggaran 2024 akhirnya menganggarkan Rp116.745.000 untuk pengadaan instalasi pompanisasi pertanian. Saya ikut mendampingi mulai dari musyawarah, survei sungai, sampai diskusi teknis dengan tukang pompa.
Saya masih ingat betul waktu itu, Pak Musnadi, Kaur Keuangan, sempat gelisah karena pengurusan meteran listrik molor berbulan-bulan. Untung saja warga tetap sabar menunggu. Saya sempat bercanda, "Meteran belum pasang, gula kita sudah habis sekilo!"