Mohon tunggu...
Kasiani S.ST
Kasiani S.ST Mohon Tunggu... TPP ACEH

Pendamping Lokal Desa di Manyak Payed, Aceh Tamiang. Menulis untuk mendokumentasikan kerja-kerja sunyi di desa, menyuarakan realita lapangan, dan menerjemahkan bahasa kebijakan dengan suara warga. Saya bukan jurnalis, tapi setiap hari mencatat apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan di desa. Karena yang dianggap biasa oleh orang kota, seringkali adalah perjuangan besar bagi warga desa.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sawah Haus, Pompa Berbunyi dan Petani Menari : Cerita dari Kampung Seuneubok Pidie #KompasianaDESA

4 Juli 2025   13:51 Diperbarui: 4 Juli 2025   13:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Musim Sawah di Kampung Seuneubok Pidie (Sumber : Penulis )

 

"Sawah Haus, Pompa Berbunyi, Petani Menari: Cerita dari Kampung Seuneubok Pidie"
Oleh: Kasiani, S.ST

Setiap kampung punya jalannya sendiri menuju sejahtera. Ada yang berjuang lewat tambak, ada yang bertahan dengan kebun sawit, ada juga yang tetap setia menggantungkan hidup pada sepetak sawah. Seuneubok Pidie, kampung kecil di Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, memilih jalan sederhana: mencari air untuk sawah yang haus.

Tulisan ini saya rangkai bukan sekadar laporan, tetapi catatan lapangan seorang Pendamping Lokal Desa. Barangkali bisa menjadi cermin bagi kampung-kampung lain yang sedang berdebat mau digunakan untuk apa Dana Desanya. Karena bagi saya, kisah air ini bukan hanya tentang pompa, tetapi juga tentang harapan, gotong royong, dan kopi pahit yang sering diseruput para petani.

Kampung Seuneubok Pidie tidak luas, hanya 300 hektare. Separuhnya, sekitar 150 hektare adalah sawah. Penduduknya pun tak sampai seribu, hanya 575 jiwa. Dari 167 kepala keluarga, 111 di antaranya hidup dari sawah. Jadi, bisa dibayangkan kalau sawah kering, maka dapur pun ikut dingin.

Sudah puluhan tahun, petani di Seuneubok Pidie hanya bisa menanam padi sekali setahun. Musim hujan ditunggu-tunggu bagai tamu penting: kadang datang tepat waktu, kadang membuat para petani gelisah menunggu di warung kopi.

Padahal, di pinggir kampung, mengalir anak sungai. Tapi airnya punya tabiat berubah-ubah, seperti hati yang juga kadang berubah-ubah. Kadang tawar, kadang asin. Ketika pasang besar, air laut merambat ke sungai. Kalau disedot sembarangan, padi bisa mati. Inilah yang membuat warga sempat ragu ketika mendengar rencana pompanisasi.

Saya masih ingat, di Musrenbangdes RPJMDes 2019, para petani mengusulkan pengadaan pompa air. Banyak yang angkat tangan, angkat alis, bahkan angkat bahu.
"Teu jeut ta pasang mesin? Meu nyee ie masen, matee pade soe tanggong?" (Berani kita pasang mesin? Kalau air asin, padi mati, siapa tanggung jawab?) begitu kata Pak Lukman, salah satu petani senior.

Saya hanya tersenyum. Namanya juga ikhtiar. Kalau tidak dicoba, mana tahu berhasil atau tidak? Tapi saya juga paham, waktu itu belum memungkinkan. Datok Penghulu, sebutan kepala desa di sini baru saja dilantik, lalu COVID-19 datang. Banyak rencana desa terpaksa ditunda. Kami sibuk urus masker, pos COVID, penyemprotan, hand sanitizer. Pompa? Tunggu dulu.

Lima tahun berselang, suasana berubah. Dana Desa Tahun Anggaran 2024 akhirnya menganggarkan Rp116.745.000 untuk pengadaan instalasi pompanisasi pertanian. Saya ikut mendampingi mulai dari musyawarah, survei sungai, sampai diskusi teknis dengan tukang pompa.

Saya masih ingat betul waktu itu, Pak Musnadi, Kaur Keuangan, sempat gelisah karena pengurusan meteran listrik molor berbulan-bulan. Untung saja warga tetap sabar menunggu. Saya sempat bercanda, "Meteran belum pasang, gula kita sudah habis sekilo!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun