Mohon tunggu...
kartosar
kartosar Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi istimewa itu membebani

Menulis untuk menjaga kewarasan - Menulis untuk melatih otak - Menulis untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Bermimpi Mengubah Dunia

21 Februari 2021   14:05 Diperbarui: 24 Februari 2021   21:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ucapan selamat mengalir di satu grup alumni. Anggotanya kebanyakan di atas umur 47, mungkin ada yang sudah 50. Ceritanya, seorang alumnus menikah lagi. Foto bersama pasangan barunya tampak sangat bahagia. Ucapan datang silih berganti. Semuanya bernada positif. Tapi ada sedikit rasa penasaran masing-masing anggota, meski mereka tidak memperlihatkan secara terang-terangan.

Sejak kapan dia cerai dengan istri pertamanya? Teganya dia ditinggalkan setelah mereka melalui tahun-tahun yang berat.

Tulisan ini tidak ingin menjawab itu.

Menikah (atau tidak) adalah sebuah perdebatan panjang. Sisi positif sebuah pernikahan selalu diiringi sisi negatifnya. Banyak orang yang ingin menikah, tapi banyak juga menyesali. Beberapa bahkan menyesal memiliki anak setelah menikah.

Saya kenal seorang wanita jomblo di usia menjelang 40 tahun yang menurut saya dia bahagia. Saya sempat mencibir, tapi kini bisa memahami dan menghormati. Saat ini menjalani hidup tidak lagi seperti zaman dulu; harus menikah dan memilik anak. Zaman telah berubah dan alur hidup tidak hanya satu.

Pandangan tentang orang yang menikah juga berubah. Status menikah berada di persimpangan. Apalagi ketika disematkan kata "bahagia". Apakah saat ini ada pernikahan bahagia?

Banyak yang semakin meyakini menikah berarti tidak bebas. Mungkin karena teknologi saat ini membuka pintu kebebasan yang sangat lebar. Anda bebas melakukan apa saja di sosial media. Anda bebas memilih film yang ingin ditonton. Bebas memilih pertandingan bola yang ingin ditonton. Tidak ada lagi yang mengatur Anda harus menonton ini atau itu. Bahkan Anda kini tidak bisa melarang anak balita Anda menonton.

Kenapa tidak bisa begitu dengan pernikahan?

Tidak peduli seberapa kaya, seberapa tinggi jabatan Anda di kantor. Jika ada orang lain yang bertanya jam berapa Anda pulang dari kantor, atau bagaimana mana sebaiknya Anda berpakaian, berarti Anda bukan orang yang bebas. Anda punya uang, tapi tidak bebas. Ini berlaku juga buat orang yang belum menikah. Jika ada yang menyuruh-nyuruh, baik pekerjaan di kantor maupun saat menjalani sebuah hubungan, berarti tidak bebas, seperti orang yang sudah menikah. Selamat, ya?

Semakin maju teknologi komunikasi justru melahirkan ironi dalam pernikahan. Semakin rumit komunikasi dua orang yang menikah. Teknologi sering dipakai sebagai media melarikan diri dari obrolan dalam sebuah hubungan (termasuk pernikahan). Semakin banyak grup-grup sosial media, semakin besar peluang selingkuh, atau terhentinya satu hubungan.

Menjadi manusia sebebas-bebasnya kini menjadi moto baru. Orang yang selfie dengan sepeda mewah, nongkrong di tempat mahal, bertemu dengan orang yang terkenal adalah orang-orang yang menunjukkan diri sebagai orang yang bebas. Uang yang banyak dan luasnya pertemanan memberinya banyak pilihan. Orang yang tidak memiliki semua itu tidak punya pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun