Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pendak Weton

13 Mei 2018   10:11 Diperbarui: 13 Mei 2018   10:29 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Lonceng jam berbunyi. Waktu sore sudah mulai berganti. Ditandai dengan ditelannya telaga matahari dari sebrang laut. Dan senja yang mulai termakan oleh malam secara perlahan. Ufuk timur mulai menampakkan petang. Sebentar lagi Adzan magrib akan berkumandang. Bersamaan dengan itu, hiruk pikuk di rumahku terasa kacau. Lampu sudah mulai menghiasi langit rumah. Ini semua untuk penerangan agar acara dapat berjalan dengan lancar.

Telingaku berisi suara kemelonteng, seperti piring, gelas, sendok atau garpu yang sengaja di goyahkan hingga berhimpitan menghasilkan bunyi tersebut. Meski aku tidak dapat melihat secara langsung. Namun, hatiku mengerti dari ungkapan-ungkapan orang yang sedang mendekapku. Tubuhnya terasa lunglai, kulit tangannya terasa kriput. Entah siapa dibalik dekapan tubuhku ini.

Informasi dalam setiap menit yang ada pada isi rumah atau aktivitas di dalam rumah selalu ku dapat dengan seksama. Banyak kicauan yang membuatku gila. Meski aku tidur selalu terbangun oleh suara-suara kebingungan. Sepertinya akan ada acara. Namun, aku tidak mengerti jelasnya. Seingatku, kebisingan ini sudah sejak kemarin malam. Kalau susunan rencana sudah dipersiapkan dan diobrolkan beberapa hari yang lalu. Itu semua aku dapatkan dari beberapa suara yang berbeda. Dari suara yang tegas hingga suara yang lunglai termakan usia.

Sejam yang lalu, ada orang-orang yang menyiapkan beberapa perlengkapan. Aku dengar ada yang menyebutkan bunga-bunga mulai dari mawar putih dan merah, melati, kenthil, dan kenanga. Tuturnya seperti itu, untuk selebihnya aku mendengarkan juga. Meski aku harus memakan otakku sendiri agar menyerap apa yang aku tangkap dari gendang telingaku ini. Selalu mereka memberikanku teka teki. Apakah aku akan seperti mereka nantinya? entah aku hanya berusaha menyimpan memori. Meski dengan hasil yang tidak tahu pasti.

Bukan hanya bunga yang sedang mereka siapkan. Ada juga yang mereka sebutkan seperti; kacang panjang, kangkung, bayam, cambah, dan 3 yang lain aku tidak mengingatnya. Mereka menuruti semua perintah wanita kriput yang mendekapku ini. Aku tidak memahami kenapa mereka harus menuruti semua ucapannya. Siapa dia? atau seperti apa fisiknya hingga segala ucapannya selalu di-iyakan oleh semua. Yang jelas, orang yang mendekapku kali ini berbeda dengan orang yang selama ini mendekapku sepanjang waktu. Sebab, wanita kriput ini terbilang cerewet, kataku. Tidak seperti wanita yang selalu memberikan kehangatan luar biasa terhadap tubuhku.

Berselang waktu, ada yang melontarkan suara "mbah, tigan niki yok nopo?" ungkap salah satu suara wanita yang menurutku terasa asing. Aku juga tidak mengerti bahasanya. Namun, lontaran tersebut langsung direspon oleh wanita kriput yang sedang mendekapku. "iku nduk, lek wes di godok, dikoncek kulite. Trus, iku ditumpangno nang sayur macem pitu mau." sahutnya dengan nada biasa namun tegas.

Aku kembali mengeluarkan isap tangis setelah percakapan mereka ku dengarkan. Kali ini wanita kriput tersebut tidak begitu menghiraukanku. Meski harus menangis kencang dengan air mata yang menetesi telapak tangan yang kriput. Ia selalu memperpanjang omongannya. "sayur werno pitu mau wes mbok godok nduk? ojok lali, kecuali kacang panjang seng di ketok-ketok. Soale kacang panjang iku ben gawe simbole panjang umur". Ungkapnya jelas. Dia sangat berhati-hati mengatur semuanya. Akupun heran apa pentingnya. Semua ucapannya, mereka lakukan dengan penuh perhatian agar tidak meninggalkan kesalahan. "enggeh mbah sampun, niku pun kulo toto damel urap-urape, lah tigan pitu niki ditumpangaken?". Sahut suara wanita asing tersebut dengan menjelaskan apa yang Ia sebutkan sudah terlaksana dengan baik.

"iyo, tumpangno neng kunu bareng kulupan kui. Mari iku siapno woh-wohan seng mau Sunarya tuku". Sambungnya terhadap wanita yang tak kukenal baik dari suara atau gusaran tangannya ketika menyentuhku. Kepalaku selalu dipenuhi tanya, saat semua yang diucapkan oleh si kriput ini. Ia tidak pernah memberikan dan membeberkan keterangan yang sangat mudah aku pahami. Tetapi, aku selalu memokuskan ketika si kriput itu mulai berbicara. Soalah-olah aku ingin mengetahuinya meski aku sendiri bingung memaknai.

Setiap perintah yang keluar dari mulutnya, pasti akan mengikutkan kata "pitu". Entah apa itu, kenapa selalu menemani setiap ucapannya. Bagiku ini suatu keanehan. Namun, tidak dapat ku pecahkan. Entahlah sampai kapan ini akan berakhir. Yang jelas aku juga penasaran obrolan mereka. Agar aku mengetahui ada apa sebenarnya.

***

Ku dengar suara dzikir pada corong-corong sudah berhenti. Mungkin, sholat magrib sudah usai. Kali ini telingaku tidak dibisiki suara "Allahu Akbar". Mungkin, tangan kasar yang kerapkali memberiku suara tersebut lupa. Atau mungkin saja, Ia sibuk dengan perintah si kriput. Aku juga tidak merasakan ketenangan, tidak seperti saat aku mendengar kalimat bisikan ditelinga. Biarlah, mungkin esok tangan kasar itu akan mengangkatku lagi lalu membisikan kalimat adzan digendang telinga ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun