Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kikis Habis Intoleransi di Dunia Intelektual

20 November 2020   02:23 Diperbarui: 20 November 2020   02:33 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama lima tahun terakhir ini kita sering mendengar berita bahwa institusi pendidikan kita seringkali bersifat eksklusif dalam hal agama (tertentu). Artinya seringkali guru mengajarkan agama sedemikian sehingga para siswa cenderung punya sikap intoleran. Bisa juga karena lingkungan sekolah mengajarkan sesuatu yang homogen sehingga para sisa (dan pendidik) tidak punya bekal pengetahuan atau inspirasi soal keberagaman atau kemajemukan.

Namun hal itu mungkin bisa kita pecahkan dengan beberapa macam solusi.

Kita akrab dengan istilah studi banding bukan? Istilah ini sering digunakan dan dilakukan oleh beberapa siswa yang ingin mendapatkan informasi lebih banyak soal satu  bidang dari satu sekolah atau tempat lain. Biasanya studi banding dilakukan di luar daerah dari sekolah bersangkutan.

Semisal SMK di Tuban yang punya jurusan ternak sapi ingin mengetahui lebih banyak soal pemerahan sapid an pengelolaan susu sapi di daerah Boyolali yang terkenal dengan peternakan sapi untuk susu tersebut. 

Siswa dan guru pasti akan menggali banyak hal menyangkut hal itu agar bisa diaplikasikan di daerah Tuban. Dengan studi banding diharapkan dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan dan sekaligus memberi inspirasi bagi pelaku studi banding. 

Studi banding sering dilakukan oleh banyak universitas, kelompok petani, unit usaha lainnya ke universitas atau kelompok lain yang sudah berhasil dengan program mereka.

Sayangnya studi banding sering juga dinodai dengan perilaku segelintir wakil rakyat yang sering melakukan studi banding ke luar negeri dan memanfaatkan kesempatan itu untuk pesiar dan berfoya-foya. Bahkan sering studi banding ke luar negeri dilakukan dengan membawa pasangannya. Ini merupakan pemborosan sekaligus tidak pada tempatnya dilakukan oleh para wakil rakyat itu.

Nah, studi banding atau semacam itu sebetulnya cocok dilakukan bagi para guru/ pendidik atau pengelola pendidikan untuk menambah wawasan soal keberagaman dan kemajemukan. 

Sikap-sikap intoleransi bisa muncul karena ketidaktahuan dan ketidakiasaan melihat sesuatu yang majemuk. Sikap intoleransi juga didorong oleh faktor bahwa Islam mengajarkan toleransi terhadap orang yang berbeda keyakinan. Karena keterbatasan pengetahuan itu menjadikan mereka cenderung anti keberagaman.

Semisal sebuah kelas di kota Jakarta, dibawa ke sebuah sekolah di kota Salatiga. Di kota kecil itu nilai-nilai toleransi dijunjung tinggi, dan terbiasa dengan keragaman / heterogen. Dengan begitu sang guru atau siswa akan mengetahi soal keberagaman atau kemajemukan yang mungkin tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Salatiga mayoritas penduduknya muslim, namun sangat toleran dengan penduduk lain yang berbeda keyakinan.

Studi banding atau apalah namanya bisa menjadi salah satu solusi untuk memberikan pengetahuan dan inspirasi soal keragaman. Sekolah dan pemerintah harus membuat program-program yang memberikan pengalaman kemajemukan kepada guru dan siswanya. Dengan begitu lama-kelamaan, intoleransi bisa dikikis habis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun