Mohon tunggu...
Ika Kartika Sari
Ika Kartika Sari Mohon Tunggu... Lainnya - A Mom

Business Antusiasm, A Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengkritik Tanpa Sarkasme

17 Oktober 2020   07:08 Diperbarui: 17 Oktober 2020   07:33 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sarkasme rasanya sudah mulai terbiasa terdengar terutama diberbagai sosial media. Dari anak kecil sampai yang tua, menggunakan kalimat yang keras dan frontal terutama di sosmed rasanya bukan lagi halnya aneh. Jika ada yang salah, kemudian dituntut, yang bersalah tinggal minta maaf saja di sosmed tersebut, mengatakan kalau saya menyesal maka semua dianggap sudah biasa saja. 

Dari zaman dahulu, Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang sopan santun serta ramah. Seiring waktu keadaan sedikit berubah, banyak perdebatan di televisi contohnya, menunjukkan arogansi serta menunjukkan kata yang sedikit kasar. Ketika membuka explore diinstagram, saya pun semakin terkejut melihat anak SD memaki gurunya dengan kasar dan kemudian "Viral". Seorang anak SMA yang memukul gurunya dengan tidak wajar kemudian direkam temannya, disebarkan ke sosial media, setelah itu "Viral".

Kasar membentuk menjadi tidak bermoral

Berbicara kasar adalah ketika seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau yang mengandung unsur penghinaan kepada orang lain. Tanpa disadari hal ini akan berdampak negatif pada mereka sendiri dan orang sekitar. Fenomena berbicara kasar ini terjadi dimulai ketika mereka masih anak-anak. Dimana pada fase anak-anak kita belajar berkomunikasi, bersosialisasi dan belajar kata-kata baru dengan orang-orang sekitar. Pengaruh yang diakibatkan dari kata-kata kasar (negatif) sesungguhnya amat besar bagi perkembangan jiwa seseorang, baik untuk yang mengucapkannya ataupun orang lain yang menjadi obyek ucapan tersebut. Ketika kata-kata negatif dilontarkan oleh seseorang, maka orang lain dapat berkesimpulan seperti apa watak orang tersebut.

Anak - anak adalah pendengar yang aktif dan peniru yang baik. Jika orang terdekat sering menggunakan kata-kata kasar, maka anak itu juga akan meniru. Anak-anak sering menangkap kata-kata kasar yang didapat atau didengar dari lingkungan mereka. Ketika mereka dewasa pun anak itu masih akan tetap berbicara kasar, hal ini tidak heran lagi saat sekarang ini kita mendengar anak-anak yang "viral" tersebut karena kasarnya dalam bertingkah laku dan bertutur kata. Lalu jika dari kecil sudah begini, besarnya bagaimana? jadi apa mereka? bahkan dalam berkomunikasi yang sopan saja mereka sudah tidak lagi terbiasa (media.neliti.com).

Kebahagiaan anak zaman now, sejak SD saja sudah punya Handphone lengkap dengan internet dan sosial medianya. Sayangnya kecanggihan teknologi saat ini justru membunuh moral penerus bangsa. Dewasa ini, banyak yang " Viral" bukan karena prestasinya tapi karena tindakan Amoralnya seperti menulis kasar di sosial media, menipu, melakukan tindakan asusila, banyak lagi tindakan yang notabene Amoral menurut saya menjadi viral dan di contoh anak zaman now.

Disuatu siang ketika saya kebetulan melewati sebuah dusun didaerah pedalaman, saya mendengar anak umur 6 tahun memaki ibunya dengan sebutan binatang, hanya karena tidak membelikannya mainan. Begitu sebaliknya sang ibu bukan menenangkan anaknya, tapi malah menyumpahi anaknya dengan kata kasar pula.

berdasarkan data yang dihasilkan Badan pusat staistik dari Susenas Hansos tahun 2014, Poporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Anak Umur 1-17 Tahun Yang Mengalami Hukuman Fisik Dan/Atau Agresi Psikologis Dari Pengasuh Dalam Setahun Terakhir 54,98 persen dari total responden seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa "kasar" membahayakan generasi penerus bangsa.

Sopan santun dalam mengkritik

Kita hidup dalam demokrasi, karena sifat arogansi dan kasar juga dimiliki oleh pembuat kebijakan, kadang diperlukan kritikan yang pedas dari masyarakat yang paham dan ingin adanya perubahan. Kritikan pedas itu wajar saja untuk menggambarkan bahwa kita, rakyat menolak mentah-mentah kebijakan tersebut .Tapi mengkritiklah dengan pedas tapi sopan santun dan berilmu, jangan debat kusir membabi buta tanpa isi. Kritik di sosial media, kritik ketika berorasi saat demontrasi damai, kritiklah dengan hati yang lapang tanpa arogansi dan kata kasar. Padi itu semakin berisi semakin merunduk, sudah sekolah tinggi tinggi, mengkritik masih dengan kata kasar tanpa titik koma. Saya salut ketika suatu malam saya melihat debat ditelevisi lalu mengundang teman mahasiswa, mereka mengkritik namun sangat cendekia, sangat cerdas dan sangat tenang. 

Saat ini, jari lebih berbahaya dari mulut, kenapa? karena jari jari yang menekan keypad untuk menulis di sosial media itu bisa membawa kita ke dosa besar nantinya. Jari ini rasanya akan menjadi saksi kita di padang makhsyar bahwa kata kata kasar yang kita tulis bukan membawa kebaikan tapi malah membawa kemudaratan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun