Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Bhakti Postel: Jejak 27/9/1945 di Gedung Postel

29 September 2025   18:31 Diperbarui: 30 September 2025   13:54 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Pos Indonesia. Sumber: koleksi pribadi 

Indonesia tidak hanya lahir dari proklamasi, ia menyambung napas melalui kabel, sandi, dan keberanian. 27 September 1945 di Cilaki, Bandung, sekelompok anak muda PTT merebut kembali jantung komunikasi dari pendudukan, menyalakan transmisi sebuah negara. Delapan dekade kemudian, di alamat yang sama, getaran itu hidup di layar ponsel: dari prangko ke QR, dari loket ke aplikasi. 

Napak Tilas: Mengapa 27 September Diperingati? 

Hari Bhakti Postel lahir dari momen ketika AMPTT (Angkatan Muda Pos, Telegraf, dan Telepon) mengambil alih Kantor Pusat PTT di Bandung pada 27 September 1945. Di hari itu, bukan sekadar sebuah gedung yang dikuasai, sambungan Republik dipastikan berada di tangan bangsa sendiri. Jaringan pos, telegraf, dan telepon adalah urat nadi informasi pada masa awal kemerdekaan, menjaga koordinasi pemerintahan, menyebarkan kabar, menguatkan harapan. Itulah sebabnya, tiap 27 September, insan Pos Telekomunikasi mengenang keberanian yang membuat sinyal negeri tidak pernah terputus. 

Berdampingan dengan Gedung Sate: Denyut Arsitektur yang Menyimpan Jejak 

Sedikit kilas: Gedung Sate pada mulanya dibangun sebagai kantor Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan (Gouvernements Bedrijven) pada dekade 1920-an. Letak dan fungsinya menjadikan kawasan ini simpul administrasi paling strategis di Priangan---menempatkan urusan infrastruktur (jalan, jembatan, air) berdampingan dengan sambungan negara: pos, telegraf, dan telepon. Karena itu, kehadiran Gedung Post, Telegraph, dan Telephone di Cilaki bukan kebetulan, melainkan keputusan tata-kota yang sadar betul akan pentingnya konektivitas.

Sebagai konteks yang menyatu, mari kita menjejak persis ke titik lokasi. Alamatnya ringkas namun sarat makna: Jl. Cilaki No. 73, Bandung---satu kompleks dengan Gedung Sate. Di sinilah kantor PTT dirancang pada era Hindia Belanda. Batu pertama diletakkan 27 Juli 1920, bangunan dibuka 1931. Nama-nama arsitek J. Berger dan Landsgebouwendienst tercatat, dengan masukan H. P. Berlage; massa bangunannya berorientasi miring terhadap Gedung Sate untuk membentuk komposisi kawasan yang harmoni.

Fasadnya tegas, ritme jendela rapih, dan ruang dalamnya menampung memori panjang tentang bagaimana sebuah layanan publik bertahan melampaui rezim dan teknologi. Di halaman dan selasar, kita seolah mendengar gema langkah para pegawai pos berbaju khaki, aroma kertas, dan denting mesin ketik yang dulu menyalin berita.

Museum Pos Indonesia. Sumber: koleksi pribadi 
Museum Pos Indonesia. Sumber: koleksi pribadi 

Museum Pos Indonesia: Mengarsipkan Sambungan, Mengajar Ingatan 

Di kompleks inilah Museum Pos Indonesia berdiri. Cikal bakalnya adalah Museum PTT (1931); setelah masa surut pascaperang, koleksi diperbarui dan dibuka kembali 27 September 1983 sebagai Museum Pos dan Giro, lalu sejak 1995 menyandang nama yang kita kenal sekarang. 

Apa saja yang disimpan?

Prangko lintas negara dan kurasi tematik yang memperlihatkan bagaimana visual kecil mengikat isu besar: fauna--flora, olahraga, kebudayaan, diplomasi. Perangkat telegraf dan telepon: kunci morse, pesawat telepon putar, hingga panel sambungan yang mengingatkan kita pada kerja senyap yang menjaga percakapan bangsa. 

Peralatan kerja pos: timbangan, tas tukang pos, kotak surat klasik berlogo mahkota, rak sortir yang membuat kita memahami logika pengantaran. 

Diorama AMPTT dan arsip foto---merekonstruksi ketegangan menjelang perebutan 27/9/1945. 

Kunjungan keluarga akan menyukai jalur cerita yang mudah diikuti; pelajar akan menemukan bahan riset; pegiat sejarah akan betah berlama-lama membaca label. Tiket masuk: gratis (cek kanal resmi/IG sebelum berkunjung, terutama untuk rombongan). Jam operasional umumnya Senin--Jumat 09.00--15.00; beberapa sumber menambahkan Sabtu 09.00--13.00---kembali, konfirmasi terbaru disarankan. 

Kompasianer Bandung dengan Pak Heri Nugrahanto sumber: koleksi pribadi 
Kompasianer Bandung dengan Pak Heri Nugrahanto sumber: koleksi pribadi 

Catatan Kunjungan Kompasiana (22 September 2025): Tiga "Insight" dari Dalam

Kami datang siang itu, 22 September 2025, saat Bandung terik; udara seperti menggantung di atas aspal. Namun begitu memasuki kompleks Gedung Postel, rimbun pepohonan menurunkan suhu dan menenangkan langkah. Di sebuah ruang pertemuan yang apik---hasil restorasi yang setia pada aslinya (bukan renovasi), bangunannya tetap orisinal hingga detail kayu; bahkan, kata mereka, rayap tak pernah ditemukan---kami disambut beberapa staff dan tiga narasumber kunci. Pak Heri Nugrahanto, VP Corporate Communication Pos Indonesia, membuka percakapan tentang warisan Postel sebagai modal sosial yang menumbuhkan kepercayaan publik lintas generasi. 

Menyusul, Pak Andi Bintang, Manajer Public Relations, mengajak melihat museum sebagai ruang tamu bangsa---tempat siapa pun dipersilakan masuk, belajar, lalu pulang membawa cerita. Lalu Pak Zamzam Zamakhsyary Arrazby, Kurator Museum, memaparkan kurasi yang menghubungkan benda dengan pengalaman: prangko sebagai jendela sejarah, kunci morse sebagai alfabet yang menyelamatkan pesan. Usai obrolan, Pak Zamzam sendiri yang mendampingi kami berkeliling. Di lorong-lorong sejuk, di depan etalase prangko dan perangkat telegraf, penjelasannya membuat koleksi terasa hidup: bukan sekadar barang pajang, melainkan ide-ide yang pernah bekerja keras menjaga sambungan Republik. Kami meninggalkan Cilaki dengan satu kesan yang bulat: Museum Pos Indonesia mengajari kita cara mengingat tanpa menggurui. 

Dari Loket ke Layar: Transformasi Pos Indonesia 2021--2025 

Setelah era loket mendominasi wajah layanan, Pos Indonesia melompat ke ekosistem digital. 

PosAja! menghadirkan pengiriman yang bisa diorder dari aplikasi, penjemputan paket di rumah, pelacakan real-time, hingga layanan cepat pada cakupan tertentu. Pospay memperluas transaksi keuangan berbasis Giropos---tagihan, top up, transfer---serta QRIS untuk pelaku usaha. 

Sekilas, ini terdengar seperti modernisasi biasa. Namun bila kita menautkannya ke 27/9/1945, ada garis lurus yang menarik: dulu, anak muda AMPTT merebut sambungan agar Republik bisa bicara; kini, Pos membangun sambungan agar warga saling terhubung di ruang ekonomi digital. 

Peran pos berubah dari pengantar surat menjadi orchestrator logistik dan enabler finansial untuk UMKM serta e-commerce---mengangkut kepercayaan dari pintu ke pintu, dari kota ke desa, dari marketplace ke pelanggan. 

Menuju 27 September 2025: Cara Merayakan yang Sederhana, Maknanya Panjang Bagaimana masyarakat bisa terlibat?

Datang ke Museum Pos Indonesia di Gedung Postel. Bawa anak, keponakan, atau sahabat; lihat prangko tematik, pegang sejarah melalui kunci morse dan telepon putar.  Kirim kartu pos---sebuah gestur kecil yang melawan lupa; kita menulis, menempel prangko, dan mempercayakan pesan pada jaringan yang telah bertahan tiga abad.

Dukung layanan digital Pos ketika mengirim paket atau bertransaksi: kepercayaan publik adalah energi yang mempercepat pembaruan. Dengan cara itu, kita merayakan Hari Bhakti Postel bukan sebagai ritual seremonial, melainkan investasi ingatan: mengakui bahwa negara yang besar selalu memelihara sambungan---antara masa lalu dan masa depan, antara benda dan makna, antara manusia dan manusia. 

Sambungan yang Menjadi Cermin 

Setiap bangsa memiliki cermin. Bagi kita, salah satunya ada di Gedung Postel---satu kompleks dengan Gedung Sate. Dulu, cermin itu memantulkan keberanian para pemuda yang tak ingin sinyal Republik redup. Kini, ia memantulkan tekad untuk melayani lebih cepat, lebih dekat, dan lebih mudah dijangkau siapa pun. 

Dari kabel ke cloud, dari amplop ke aplikasi, Pos Indonesia menunjukkan bahwa kemajuan terbaik adalah yang tidak memutus ingatan. 27 September mengingatkan: sambungan itu masih menyala, dan tugas kitalah menjaganya. 

Info umum:

Alamat: Museum Pos Indonesia, Gedung Postel, Jl. Cilaki No. 73, Bandung (satu kompleks dengan Gedung Sate). 

Jam: umumnya Sen--Jum 09.00--15.00 (cek kanal resmi untuk pembaruan/kunjungan rombongan). 

HTM: Gratis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun